Mataku mengerjap dua kali lebih cepat dari biasanya. Kerongkonganku terasa sekering Gurun Atacama. Jangankan berbicara, memroses pertanyaan sederhana dari Bintang saja kulakukan dengan susah payah.
Hm, kalau begitu, mari kita saling mengenal dulu. What do you say?
Bagaimana aku harus merespons itu?
Iya, memang tidak ada yang salah dengan berteman dan saling mengenal. Hanya saja ..., entahlah. Aku merasa ada sesuatu yang patut kuwaspadai darinya.
"Apa kamu selalu berpikir sekeras ini kalau ada laki-laki yang ingin berkenalan denganmu?" celetuk Bintang.
Alih-alih menjawab, aku malah menunduk. Tanganku mengaduk minuman dengan ragu.
"Oke, fine. Bagaimana kalau kita mulai dari hal yang ringan dulu? Kita sudah saling tahu nama. So, we can skip that. Hm, pekerjaan. Kamu nyaman kalau kita membicarakan pekerjaan masing-masing?"
Aku berpikir sejenak. "Fine. Aku seorang account executive biro iklan."
Mendengar itu, matanya membulat. Memercikkan antusiasme. Badannya semakin condong ke depan. Perhatian pria itu terpusat sepenuhnya padaku. Dia memintaku menjelaskan lebih lanjut tentang profesiku.
"Well, tugas utama saya adalah berjualan. Memancing calon klien untuk menggunakan jasa perusahaan kami. Kalau ada yang tertarik, kami akan bertemu. Saya akan menggali apa yang diinginkan dari klien. Lalu, saya bawa permintaan klien ke perusahaan. Kami mulai produksi. Setelah itu, saya membawa hasilnya kembali ke klien. Kalau tidak ada revisi, kami akan mulai menyebar konten, baik online dan offline."
Bintang manggut-manggut. Entah dia sepenuhnya memahami penuturanku atau gesturnya itu sebatas apresiasi. Pria itu mengejutkanku ketika dia bisa menyambung pembicaraan. Bahkan memahami terminologi di dalam dunia Sales.
Dia bertanya bila perusahaan tempatku bekerja―Falcon Advertising, turut mempekerjakan sales development representative yang biasa membantu seorang account executive untuk mencari klien. Mereka bertugas mengirim surel atau menelepon calon pembeli. Bila calon klien berminat menggunakan jasa kami, mereka akan berkoordinasi dengan AE, lalu menyusun jadwal pertemuan. Selanjutnya, AE yang akan menangani klien hingga ke pasca produksi.
Lelaki itu juga turut bertanya apakah aku lebih suka mencari klien besar untuk memenuhi kuota penjualan tahunan atau aku justru memprioritaskan perusahaan kecil. Menurutku, tidak ada yang salah dari kedua teknik itu. Tentu saja, dengan klien besar, kesepakatan yang terjadi dapat bernilai fantastis. Para AE bisa memenuhi kuota target dengan lebih cepat.
Sementara firma kecil selalu dapat berkembang. Bila berhasil memupuk hubungan dengan perusahaan saat mereka masih berskala kecil, besar kemungkinan kami akan menjadi andalan ketika mereka butuh membuat iklan. Beberapa klienku yang dulunya masih berukuran mikro telah menjelma menjadi perusahaan besar. Alih-alih melempar proyek dalam bentuk tender, mereka langsung menghubungi perusahaanku. Meminta kami mengerjakan proyek bernilai ratusan juta rupiah. Dengan begitu, kami dapat memaksimalkan revenue tanpa perlu bersusah payah dan bersaing dengan biro lain.
"Kayaknya kamu memang sudah paham banget seluk beluk sales," komentarku.
Bintang mengangguk sembari menyesap kopinya. Telunjuknya lantas membuat gerakan memutar. Bermaksud menunjuk kedainya.
"Saya juga berkecimpung di dunia sales, bukan?" Dia menyuguhkan senyum yang mampu membuat semua orang betah memandangi lengkungan bibir itu. "Saya lulusan Manajemen. Beberapa hari lalu, saya baru pulang ke Jakarta setelah menamatkan studi MBA."
Penemuan baru ini nyaris membuatku menyemburkan es limun ke muka Bintang. Sialnya, saat memaksakan diri untuk meneguknya, minuman asam itu malah masuk ke jalur yang salah. Aku pun tersedak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...