Go and Show

3.6K 376 31
                                    

Sesuai janji, aku dan Bintang tiba di Etoile beberapa menit sebelum jadwal pertemuanku dengan Efraim. Bintang mendesak agar kami pergi bersama, meski dia tahu aku harus ke kantor setelah ini. Dia bersikukuh mengantar dan menjemputku hari ini. Menjanjikan dirinya tidak akan terlambat saat menjemputku nanti.

Sejujurnya aku kurang suka bergantung pada orang lain seperti ini. Waktu adalah segalanya dalam profesiku. Karena mempercayai bahwa closing the deal dengan klien berawal sejak kami bertemu pertama kali, kesan pertama selalu kuanggap sebagai landasan utama. Oleh sebab itu, aku tidak boleh terlambat dalam setiap pertemuan.

Ketika Bintang tengah menyiapkan peralatan di balik meja barista, sebuah mobil memasuki halaman parkir Etoile dan menempati ruang tepat di samping mobil Bintang. Dua pemuda keluar dari mobil. Salah satunya adalah Efraim. Aku menduga lelaki jangkung dengan setelan rapi di sebelahnya adalah sang partner.

Aku baru mencapai depan meja kasir ketika mereka berjalan masuk. Efraim menyambutku lebih dulu. Dia lantas memperkenalkan sang partner, Troy. Setelah berbasa-basi dan melempar ucapan maaf yang tidak perlu, aku membimbing mereka ke depan kasir di mana Bintang sudah bersiap mengambil pesanan mereka.

Saat berjalan, kurasakan Troy berada sangat dekat denganku sampai lengan kami bersinggungan. Kurasakan pula sepasang mata yang mengarah pada kami dari balik meja kasir. Benar saja, tatapan Bintang menyorotkan intimidasi yang membuatku bergidik takut. Padahal lelaki itu sedang mengawasi Troy, tapi sistem refleks tubuhku justru yang menyahut aba-aba darinya.

Aku beringsut menjauh, memberi jarak pada Troy, tetapi pria itu malah ikut bergeser. Dia terkesan benar-benar tidak peduli pada ruang personalku dan pandangan membunuh dari Bintang. Dengan santai, dia membaca deretan menu yang menghiasi papan tulis hitam di atas area kerja barista.

"Kamu suka minum kopi atau teh, Rebecca?" tanya Troy.

"Dia terbiasa minum teh kalau pagi," sahut Bintang. "Teh mint atau teh hijau, tergantung suasana hatinya saat itu."

Troy membulatkan mata. Pandangannya beralih dari Bintang kepadaku. "Oh, kamu pelanggan di sini? Baristanya sampai hafal dengan pesananmu."

"Setiap pagi memang saya yang membuatkan teh buat dia. Sebelum dia berangkat kerja."

Pria di sampingku ini langsung diam seribu bahasa. Perlahan, dia mengambil langkah mundur, otomatis memberi jarak denganku. Lirikannya pada Bintang terkesan takut-takut. Padahal secara fisik, Troy jauh lebih berisi daripada Bintang. Akan tetapi, tatapan tajam dan gestur intimidatif Bintang memang membuat lelaki kurus itu terlihat jauh lebih sangar.

"Oh, sorry. Saya nggak tahu kalau kalian―"

Secepat kilat, aku membalikkan badan hingga menghadap Troy, berupaya mengoreksi kesalahpahaman. Namun, afirmasi dari Bintang menelan suaraku bulat-bulat.

"Ya. Well, memang sulit membayangkan perempuan seperti Rebecca bersama pria seperti saya, eh?"

Kepalaku kembali berputar untuk menatap Bintang yang sudah menyunggingkan senyum miring. Kedua alisnya terangkat tinggi, melengkapi sorot puas yang terpancar dari iris matanya. Aku menatapnya lekat-lekat. Ucapannya barusan meninggalkan ganjalan di dada. Anehnya, rasa keberatan itu bukan karena dia menyiratkan aku adalah wanitanya meski kami memang belum melabeli hubungan ini. Semalam pun, aku tidak memberi jawaban pasti atas keinginannya untuk memberi kesempatan pada hubungan ini. Aku justru lebih terganggu pada makna tersirat tentang dirinya yang seolah tidak pantas untukku.

Aku tidak menyukainya berbicara seperti itu.

Gerutuan di sampingku mengembalikan segenap konsentrasiku. Rupanya Efraim baru saja menyikut perut Troy.

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang