Efraim menyesap sisa-sisa cappucino miliknya. Tatapannya nanar ke arah meja. Dia terlihat sedang mencerna seluruh ucapanku dalam pitching tadi. Bahkan dia mungkin sedang menimbang untung dan rugi kalau bekerja sama denganku. Dia meletakkan cangkirnya kembali ke atas coaster.
"Semua yang kamu sampaikan tadi ..., it's interesting," ungkapnya.
"Dan dari semua yang kita perbincangkan tadi, apa menurut Mas, we'll be a good fit?" pancingku.
Pemilik bisnis start-up yang bergerak di bidang edukasi itu mengangguk sangat pelan. "Ya, sepertinya begitu."
Baiklah, dia masih belum yakin.
"Kalau begitu, apa rencana Mas selanjutnya?"
"Saya harus mendiskusikan hal ini dulu dengan partner saya. Kebetulan, dia nggak bisa ikut pitching hari ini, jadi saya yang diminta mewakili perusahaan. Tapi jujur, penawaranmu tadi sangat menarik."
Aku mengangguk paham. "Baik. Saya nggak ingin memaksa, tapi bila Mas mau mempertimbangkan tawaran kerja sama ini, saya ada penawaran lain."
Aku merogoh tas. Kuambil secarik kertas berisikan detail biaya jasa Falcon Advertising. Benda keramat itu memang selalu kubawa setiap kali aku bertemu klien. Selama beberapa saat, aku membiarkan Efraim mencermati isi fail.
"Normalnya, kami akan mematok harga sesuai dengan yang tertera di atas kertas yang sedang Mas baca. Namun, karena saya senang dengan pertemuan kita sore ini dan saya melihat prospek yang baik untuk kita ke depannya, saya bersedia memberikan potongan sebesar dua puluh persen dari keseluruhan harga. Penawaran ini hanya berlaku sampai minggu depan, Mas."
"Lewat dari itu, diskonnya akan hangus, ya?"
"Betul, Mas."
Kepala lelaki itu bergerak naik dan turun dengan tempo lambat. Untuk saat ini, tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membujuknya mengambil keputusan. Dia pun kembali menegaskan kalau harus membicarakan penawaran ini dengan sang co-owner.
Normalnya, kami para AE senang mendapatkan jawaban ya atau tidak, jadi kami pun tidak membuang waktu untuk mengejar klien yang rupanya tidak tertarik dengan produk kami. Akan tetapi, memaksa juga tidak ada gunanya. Yang ada, mereka malah semakin enggan bekerja sama dengan kami. Makanya, aku lebih senang memilih cara menawarkan potongan harga di situasi yang belum pasti ini.
Selepas pertemuan itu, kami saling menjabat tangan dan mengucap terima kasih. Efraim sempat mengajakku berjalan bersama ke parkiran. Aku menolak. Lagi pula, aku juga harus membuat ringkasan tentang pertemuan kami tadi. Akhirnya, dia pun berlalu.
Sambil mendesah panjang, kuempaskan pantat kembali ke kursi. Aku mulai mencatat detail pertemuan. Tidak lupa juga kusematkan batas waktu potongan harga untuk perusahaan Efraim. Jumat minggu depan. Strategi seperti itu sering kugunakan. Oleh sebab itu, aku butuh agenda untuk mengingatkanku tentang batas waktu diskon untuk setiap klien.
Saat masih sibuk berkutat dengan catatan, seseorang meletakkan sebuah cangkir di depan notebook-ku. Sontak, aku mendongak. Menemukan Bintang yang sudah menatapku lebih dulu. Tanpa permisi, pria itu menempati kursi Efraim tadi.
"Saya nggak pesan ini," ucapku.
Sebuah lengkungan tipis muncul di wajah Bintang. "Saya tahu. Ini complementary dari saya. Sebagai ucapan terima kasih."
Alisku bertautan. "Untuk?"
"Terima kasih karena sudah bekerja keras hari ini."
Refleks, aku menunduk. Menyembunyikan pipi yang kuyakini sudah memerah. Otakku bekerja keras untuk mencari pengalihan. Segera kulirik isi cangkir yang diletakkan Bintang tadi. Cafe latte. Sama dengan yang sebelumnya kuminum. Hanya saja, desain yang tergambar di atasnya bukan lagi daun semanggi, melainkan sebuah hati yang ditopang oleh sebuah sayap. Cantik sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling For The Forbidden
RomanceThis story contains: - Adult language and situations (21+) - Swearing - Subject matter that some readers may find offensive and disturbing It is not suitable for younger readers. Reader discretion is advised. -- Tidak ada kakak yang lebih berdedikas...