Defensive

3K 355 15
                                    

Telunjukku kembali menepuk-nepuk concealer yang kutaruh di punggung tangan sebelum membubuhkannya di pipi dan sudut bibir. Upayaku menutupi bekas luka dan memar yang ditinggalkan Farrell di mukaku jauh dari kata sukses. Terlebih di bagian bibir. Setebal apa pun concealer atau foundation atau bedak yang kutimpa di ujung bibir, luka di sana akan tetap terlihat setiap kali aku membuka mulut. Mana mungkin juga aku diam saja kalau diajak bicara Bu Mitha nanti.

Ah, seharusnya tadi aku mampir dulu ke minimarket sebelum ke kantor. Aku bisa membeli masker dan berdalih sedang flu. Dengan begitu, aku tidak perlu menghabiskan concealer dan gincu untuk menyembunyikan luka di bibir.

Aku menggeram tertahan. Ingin rasanya aku melempar concealer ini, tapi aku membatalkan niat. Benda ini bukan milikku. Bakal kacau jadinya kalau aku sampai membuat pemiliknya berang. Masalahnya, alat rias ini bukan barang murah. Aku saja terus berpikir ulang untuk membeli concealer seharga hampir setengah juta ini.

Aku mendesah panjang sembari memutar kursi. Bermaksud mengembalikan concealer pada Sharon. Belum sempat menjalankan niat itu, aku malah terlonjak kaget lantaran perempuan itu sudah duduk menghadapku.

"Lo tahu, kan, sampai concealer itu habis pun, luka di muka lo nggak bakal tertutupi sempurna," komentarnya tanpa diminta.

"Ya makanya, gue mau balikin ini ke lo." Aku mengangsurkan concealer.

Sharon menerimanya dengan ragu. Tatapan penuh keprihatinannya tak lekas beranjak dariku. Mengingatkanku pada trauma yang masih menghantuiku hingga pagi ini.

Perempuan itu langsung bertanya apa yang terjadi begitu melihatku tiba di kantor tadi pagi. Sharon bahkan sampai berdiri dari kursi. Matanya melekat padaku sampai aku duduk di kubikelku. Dia langsung mengatakan kalau dia tahu sesuatu telah terjadi padaku karena tidak biasanya aku datang terlambat.

Bukannya aku bangun siang. Aku hanya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memoles wajah. Ketika akhirnya aku selesai berdandan, jam macet sudah dimulai. Seakan kesialan belum puas menghampiriku, Sharon masih harus memberondongku dengan pertanyaan tentang luka di bibirku. Seketika aku merasa hanya membuang-buang waktu untuk merias muka tadi pagi. Nyatanya, riasan wajah ini tak sanggup menyembunyikan bekas luka dari mata jeli Sharon.

Mau tak mau, akhirnya aku bercerita. Aku sudah memperkirakan kemarahan perempuan itu akan meledak-ledak. Namun secara mengejutkan, dia hanya diam. Hanya saja, wajahnya merah padam. Atmosfer di sekeliling kami berubah drastis. Bahkan, kolega-kolega yang melewati kubikel kami memilih tidak menyapa saat pandangan mereka berlabuh ke Sharon.

Perempuan itu hanya mengucapkan satu kalimat padaku. "Lo lapor ke Bu Mitha."

Meski ini bukan pertama kalinya Sharon menyuruh-nyuruhku, perintahnya kali ini terkesan berkali-kali lipat lebih serius. Terdengar bagai ultimatum. Aku rasa ultimatumnya itu jauh lebih baik untuk telinga ketimbang aku harus mendengarnya menyalahkanku atau―lebih buruknya―menghakimiku karena menerima ajakan kencan Farrell.

Aku mengambil dompet dari dalam tas sebelum berujar, "Gue mau turun beli masker dulu."

Baru saja menutup mulut, suara familier yang memanggil namaku menghentikan pergerakanku. Pandanganku bergeser perlahan ke arah pintu ruangan account manager. Bu Mitha berdiri sambil mengedikkan kepala. Bahasa tubuhnya terkesan ingin aku segera menyusulnya. Otomatis, aku tidak punya waktu untuk turun dan membeli masker wajah.

Posisi dompet di tangan pun langsung digantikan agenda. Saat hendak melangkah, tangan Sharon mencekal lenganku. Aku yang terkejut langsung memelototinya.

"Lo lapor soal Farrell ke Bu Mitha. Atau gue lapor polisi," tekannya.

Aku berbisik, "Lo lebay banget."

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang