The Brothers

3.3K 425 58
                                    

Aku menguap selagi merenggangkan otot-otot di tubuh. Mataku mengerjap cepat demi mengembalikan kesadaranku. Namun, mimpi yang tengah kusaksikan ini tak kunjung memudar. Bintang dengan senyum manisnya terasa begitu nyata. Tanganku pun terjulur. Merasai wajah dan senyumannya.

"Kamu ngapain?" tanyanya.

Kekehan parau meluncur dari mulutku. "Mastiin kamu nggak cuma mimpi." Aku lantas menarik tangan. "Udah bangun dari tadi?"

"Aku nggak tidur."

"Terlalu terang, ya?"

Pandanganku melayang ke jendela di belakangku. Matahari siang sudah berada tepat di atas gedung apartemen. Sinarnya tidak lagi condong dan langsung menembus kaca. Meski begitu, cahayanya itu masih tetap menyilaukan mata.

"Nggak, sih. Aku cuma senang aja lihatin cewek cantik tidur."

Aku menggeleng tak percaya pada gombalannya. "Aku pasang gordennya hari ini, deh."

Tanpa tumpukan pekerjaan dan janji temu dengan klien, aku kebingungan mencari aktivitas. Akhirnya, hari cuti kuiisi dengan beberes apartemen. Aku membersihkan kamar mandi. Menata ulang baju di lemari. Mencuci seluruh tirai, termasuk yang ada di kamar. Gorden di kamar utama inilah yang menjadi barang terakhir yang kucuci. Aku belum sempat mengeluarkannya dari dryer sejak semalam.

Aku segera beranjak dari kasur. Dengan santai, aku berjalan memutari ranjang. Merasa ada tatapan yang tengah melekat padaku, aku pun menoleh. Kusaksikan bola mata Bintang sedang beredar di tubuhku.

"Aku lapar. Mau bikin makan siang." Aku berusaha menarik perhatian Bintang menjauh dari busana minim yang kukenakan.

Tanpa melepas pandangan dari dadaku, Bintang menjawab, "Bahan masakannya kamu, bukan?"

"Sejak kapan kamu jadi kanibal?"

Sambil tertawa, Bintang turun dari kasur. Dia meminta setidaknya aku memakai kaus kalau aku tidak mau dia menggerayangi tubuhku selagi aku memasak. Malas mencari kaus di lemari, aku pun melucuti baju Bintang. Pria itu hanya melempar tatapan datar usai aku mengenakan kemejanya. Tanpa dosa pula, aku keluar dari kamar. Bintang mengekoriku. Dia terlihat tidak keberatan bertelanjang dada.

Selagi aku tengah menyiapkan bahan-bahan masakan, suara panggilan telepon masuk mengisi keheningan di antara kami. Dari nada deringnya, kami tahu suara itu berasal dari ponsel Bintang. Lelaki itu kembali ke kamar. Aku pikir dia akan menerima panggilan telepon di sana. Rupanya, dia membawa ponsel keluar dan baru mengangkat telepon di dapur.

"Kenapa, Chan?" Sepertinya sang adiklah yang menelepon. "You're on speaker. Aku lagi di apartemennya Rebecca."

Rahangku jatuh seketika. Aku mengarahkan telunjuk ke dada sambil berbisik, "Chandra tahu aku?"

Bintang mengangguk pelan. Ada kesan bangga yang muncul di balik senyumnya. Kenyataan bahwa Bintang pernah bercerita pada adiknya tentang diriku tak pelak menghangatkan hatiku.

[Oh. Halo, Kak Rebecca. Salam kenal, ya. Aku Chandra.]

"Salam kenal juga, Chandra," balasku sedikit kikuk. Aneh juga kalau kenalan melalui telepon begini, ya.

"Kenapa telepon? Tumben." Bintang mengulang pertanyaannya yang belum terjawab oleh si adik.

[Ko Bintang, aku mau minta tolong.] Suara Chandra terdengar panik.

Bintang tidak menimpali dengan pertanyaan lagi. Bahkan, dia masih terlihat tenang. Menunggu adiknya memberi penjelasan tentang bantuan yang ingin diminta.

[Kayaknya aku nggak bisa datang ke ultahnya Mami bulan depan.]

Barulah saat itu Bintang meletakkan pisau yang tadi digunakannya untuk memotong daging ayam. "Kenapa?"

Falling For The ForbiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang