42

76.4K 4K 1.5K
                                    

Darah mengalir dari sudut bibir Edgar. Tyo menampar Edgar berkali-kali setelah mendengar kejadian di kantor siang tadi. Ia bertambah kesal setelah mengetahui istrinya masuk rumah sakit karena masalah yang sama.

"Merasa hebat kamu hah?" Tyo lagi-lagi menampar Edgar. Edgar hanya diam tak berani melawan. Walaupun memar di wajahnya sudah jelas terlihat.

"Pa sudah pa," Pinta Widya yang sedari tadi hanya melihat.

"Kamu bela adik kamu yang brengs*k ini?"

"Bukan pa, Widya juga marah. Tapi sekarang bukan saatnya papa lampiaskan amarah papa,"

Tyo terdiam dan menghembuskan nafasnya gusar. "Terserah kamu. Kamu urus ini anak, papa tidak mau tau tentang dia lagi. Sebelum dia bisa selesaikan masalahnya sendiri, jangan pernah tunjukan wajahnya di depan mama papa,"
Tyo melenggang pergi menuju rumah sakit tempat istrinya di rawat.

Tyo sudah merasa kesal karena ada yang melapor telah terjadi keributan di kantor karena ulah anaknya. Lalu setelah mendapat telepon dari asisten rumah tangganya bahwa istrinya masuk rumah sakit karena Neira pergi membuatnya semakin kesal. Setelah bertemu anak laki-lakinya itu, ia langsung menyeretnya pulang ke rumah dan melampiaskan amarahnya. Ia sengaja melampiaskan amarahnya di rumah agar tidak ada yang mengganggu sampai anaknya tersadar akan kesalahannya.

"Udah kaya gini kamu masih gak mau cerita sama mbak?" Widya memapah Edgar untuk duduk di sofa.

Tak ada jawaban dari Edgar, ia hanya meringis sambil mengusap darah yang tersisa di ujung bibirnya.

"Jawab mbak!" Bentak Widya karena tak ada jawaban dari Edgar.

"Mbak gak usah ikut campur. Ini masalah aku, biar aku yang urus sendiri,"

Widya semakin kesal karena jawaban dari Edgar. "Mbak tau kamu gak mau cerita, karena kamu tau semua itu salah kamu. Tapi kamu gak mau dipojokin kan?" Widya membentak Edgar tepat di depan wajahnya.

"Bukan urusan mbak!" Edgar balik membentak Widya dan langsung melenggang pergi.

Widya yang masih kesal duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Ia sudah dibuat pusing oleh perbuatan adiknya itu. Sebenarnya ia tau apa yang terjadi, tetapi ia mau mendengar cerita dari mulut adiknya itu.

•••

"Stop nei, ngapain sih lo masih aja tangisin tuh cowo brengs*k? Kalo lo sedih mulu, itu gak baik buat anak lo. Udah gak usah lo fikirin lagi tuh orang. Mending lo fokus sama diri lo dan anak lo." Kiki sedikit membentak Neira karena ia kesal Neira masih saja menangisi Edgar. Bahkan Neira menolak makan dan memilih untuk menangis.

"Kiki!" Tegur Nela yang baru saja masuk membawa makanan.

Nela langsung menghampiri Neira yang sepertinya terkejut dengan bentakan Kiki. Lalu ia langsung memeluk Neira. Tanpa aba-aba tangisan Neira semakin pecah.

"Gue tau lo sedih nei, gue tau lo kecewa. Tapi kalo lo kaya gini terus, lo bikin gue semakin mau hajar tuh cowo. Apalagi lo gak mau makan, please nei jangan jadiin anak lo korban juga. Dia butuh makan, dia gak tau apa-apa,"

"Kiki! Biar bunda yang ngomong," Nela melotot ke arah Kiki yang masih saja membentak Neira. Walaupun ia tau Kiki bermaksud baik, namun caranya saja yang salah.

"Ssstt, udah ya nangisnya. Kasian anak kamu loh. Kalo kamu sedih, anak kamu juga bakal sedih. Sekarang mending kamu makan ya, isi perut kamu. Anak kamu juga pasti udah lapar," Ucap Nela dengan lembut layaknya seorang ibu yang menenangkan anaknya.

Neira mengangguk dan menghapus air matanya. Nela pun ikut menghapus air mata Neira. Lalu ia mengambil makanan yang baru saja ia masak untuk di makan oleh Neira.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Silent WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang