39

62.2K 3.6K 464
                                    

"Nih," Agam menyodorkan selembar tissu kepada Neira yang sedang menunduk.

Agam dan Neira kini sedang duduk di bangku sebuah taman. Neira menangis sepeninggal Edgar tadi. Walaupun tangisannya hanya sebulir air mata, namun air mata itu terus keluar dari mata Neira.

"Aku_" Ucapan Neira terhenti karena segukan dari tangisannya. "Aku gak mau nangis, tapi aku gak bisa," Neira mencoba menghentikan tangisannya.

Agam menghela nafasnya lalu dilanjutkan dengan mengusap kepala Neira. "Nangis itu wajar nei, lo bisa nangis sepuas lo kalo itu bisa bikin hati lo tenang," Agam masih mengelus kepala Neira.

"Tap_Tapi aku gak_gak mau kak," Neira berbicara dengan terbata-bata karena menahan tangisannya yang tak bisa berhenti.

Agam menghela nafas lagi dan mengambil jaket dari dalam tasnya. Lalu ia membuka kancing jaket denim-nya itu dan menaruh di atas kepala Neira hingga menutupi seluruh wajah Neira. Neira pun bingung dengan perbuatan Agam.

"Nangis sepuas lo, gak bakal ada yang tau kok!" Agam menjelaskan maksudnya.

Neira pun langsung menangis tersedu-sedu. Tak ada yang memperhatikan kecuali orang yang lewat di dekat mereka, itupun mereka hanya menengok lalu bersikap seperti tidak apa apa. Untung saja perut Neira juga tidak terlalu besar dan hanya terlihat sedikit buncit namun tidak terlihat seperti ibu hamil karena ia memakai baju yang lumayan longgar. Agam hanya bisa menunggu Neira hingga Neira merasa tenang.

"Gue gak tau masalah lo, kalo lo mau cerita silahkan, enggak juga gak apa-apa," Agam mengusap kepala Neira saat Neira mulai sesegukan. "Gue juga gak bisa meluk lo, karena lo istri orang. Yang bisa gue lakuin cuma ini." Lanjutnya.

Neira hanya diam mendengar ucapan Agam. Dia sebenarnya merasa tidak enak dengan Agam. Dan merasa malu karena menangis di depannya yang notabene-nya bukan siapa-siapa dirinya.

Selang beberapa menit, Neira sudah melepaskan jaket Agam dari atas kepalanya dan memberikannya kepada Agam. Mata Neira sembab, maklum cukup lama Neira menangis.

"Makasih kak dan maaf aku gak bisa cerita," Neira menghapus sisa-sisa air matanya sambil menatap wajah Agam.

"Iya gue tau," Agam mengangguk pelan dan menatap balik Neira dengan lembut.

Tak ada pembicaraan untuk selanjutnya. Neira hanya diam dan menunduk, sedangkan Agam menoleh ka kanan dan ke kiri secara terus menerus karena bingung mau melakukan apa.

"Makan yuk!" Agam memberhentikan suasana sepi itu dengan mengajak Neira untuk makan.

"Aku lagi_"

"Gak ada penolakan," Agam memberi peringatan kepada Neira.

"Tapi, aku la_"

"Gak, gue tau ibu hamil harus makan banyak supaya anaknya cepet gede," Ucap Agam.

"Ayo," Agam menarik pelan tangan Neira, ia tidak mau kasar takut bayi Neira terjadi sesuatu.

Neira hanya bisa pasrah dan mengikuti Agam. Ditengah perjalanan, ia melepaskan genggaman tangan Agam. Agam sempat diam dan ia langsung mengerti. Dibalik Neira cinta atau tidak dengan Edgar, Neira masih menghormati Edgar sebagai suaminya. Menurut Agam, Neira mungkin, bukan mungkin bahkan pasti ialah wanita yang setia. Jadi Agam wajar, walaupun ia juga tidak tahu masalah Edgar dan Neira.

Tak jauh dari tempat Agam dan Neira duduki tadi, mereka sekarang sudah sampai di sebuah warung bubur. Agam memesan dua mangkuk bubur, untuk dirinya dan Neira.

"Gue gak tau makanan bumil, jadi gue cuma bisa ngasih bubur," Bisik Agam yang hanya bisa didengar oleh Neira.

Tak lama dari itu, bubur mereka sudah tersedia di depan mereka. Agam memberikan sendok kepada Neira. Neira mengambil sendok itu, namun tidak langsung menaruhnya di dalam mangkuk buburnya itu.

Silent WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang