"Bu Nana."
Sapaan dari Ririn dan Elin—resepsionis apartemenku—adalah yang pertama menyapa begitu aku berjalan mendekati meja resepsionis setelah turun ke lobby dengan terburu-buru begitu mendapati Ririn menghubungiku dan mengatakan kalau dia sedang menunggu di lobby apartemenku.
Sebuah senyum tipis terulas di bibirku, "malam, Lin," kataku singkat, menjawab sapaan Elin.
Wanita yang berdiri tegap di belakang meja resepsionis itu merendahkan tubuhnya sebentar. Ririn mengulurkan tangannya yang langsung kubalas dengan sebuah pelukan singkat pada tubuhnya. Aku sempat mengucap terima kasih pada Elin, dan merangkulkan salah tanganku ke salah satu bahu Ririn, mengajak wanita itu berjalan mendekati sofa besar di area tengah lobby apartemenku.
"Sudah saya bujuk, Bu. Tapi, Bapak bilang kalau harus ke apartemen Ibu dulu." Ririn menghela napasnya lumayan keras saat ia menjelaskan alasan keberadaannya malam ini disini.
Aku masih diam, tidak berkeinginan untuk berkomentar mengenai hal itu, hapal benar dengan kekeras kepalaan atasannya. Ririn sempat berhenti melangkah begitu jarak yang memisahkan kami dan sofa besar hanya menyisakan beberapa langkah lagi. Mengerti dengan maksud Ririn, aku melepas rangkulan tanganku pada bahunya. Kepalaku mengangguk saat Ririn bilang dia harus mengambil sesuatu di mobil, sementara langkahku kembali menghapus jarak pendek yang tersisa untuk bisa berdiri menghadap Algis yang sedang duduk sambil memejamkan kedua matanya.
"Gis," panggilku pelan, tanganku terulur merapikan rambutnya.
Mata Algis terbuka perlahan, "hai," jawabnya, merespon sapaanku. Ia segera berdiri dari sofa dan menarik tubuhku masuk ke dalam pelukannya. "Maaf karena ngeganggu waktu istirahat kamu." Suara Algis terdengar tidak jelas karena dia sengaja menempelkan bibirnya pada pelipis kepalaku, menciumnya beberapa kali sebelum kembali mengeratkan pelukan kami.
Suara batuk Algis terdengar beberapa kali setelahnya. Tanganku refleks terulur menepuk punggungnya perlahan. "Kamu sudah makan belum?" Bibirku mencebik kesal saat Algis menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Berarti belum minum obat?" tanyaku lagi beruntun.
Kurasakan kepala Algis bergerak di atas bahuku. "Belum sempat." Kali ini aku bisa mendengar suara Algis yang serak dengan jelas.
Kami kemudian sama-sama terdiam. Algis adalah orang pertama yang menurunkan tangannya untuk mengenggam tanganku, ia menggerakan ibu jarinya di pergelangan tanganku. Tanpa satu kata yang keluar dari bibirnya, aku tahu dia berusaha menenangkanku sekarang. Sengaja, kuturunkan pandanganku ke arah genggaman tangan kami. Sepertinya, Algis menyadari kemana perginya fokusku, dia merapatkan tubuhnya dan menyandarkan dagunya di atas kepalaku. Semua perlakuannya malam ini benar-benar membuatku tidak bisa banyak berkomentar, segala emosi yang kupedam seharian ini mendadak berlarian keluar. Apalagi saat Algis mencium puncak kepalaku beberapa kali, dengan cepat aku memutar tubuhku menghadap bahunya.
Algis tetap tidak mengatakan apapun, hanya tangannya yang bergerak mengusap rambut dan punggungku secara bergantian. "Udah semua?" Aku mengernyitkan dahi saat mendengar suara Algis barusan. Setelah menegakkan kepala, aku kembali memutar tubuhku dan mendapati Haidar tengah berdiri canggung di hadapan Algis dengan satu duffel bag di tangan kirinya.
"Malam, Bu Nana." Haidar lebih dulu menyapaku sebelum menjawab pertanyaan Algis. "Sudah semuanya kok, Pak," jawabnya sambil menyerahkan man bag itu pada Algis.
"Obatnya Bapak dibawa, Dar?" Aku memotong pembicaraan mereka cepat dengan pandangan yang tak lepas dari duffel bag milik Algis. Kemungkinan besar box obat milik Algis tidak ada di dalam sana, dilihat dari ukurannya yang memang tidak memadai untuk menampung amunisi vitamin Algis. Dan, tebakanku ternyata benar terbukti karena Haidar menggelengkan kepalanya sementara Algis yang berdiri di sampingku kembali meraih pinggangku untuk mendekat ke arahnya. "Lupa bawa?" tanyaku lagi, kali ini aku menaikkan pandangan menatap Algis.

KAMU SEDANG MEMBACA
CONNECTED (COMPLETED)
Genç Kız Edebiyatıconnected [ kuh-nek-tid ]: having a connection Alfian Djanuar Nandiardji is my first love. He is the only person I wish I could pass the future with. It used to be like that. Without knowing anything, I thought everything is fine. I will have my o...