CON-22

41.2K 4.6K 879
                                    

Aku menyusuri lorong kampus gedung F di lantai tiga begitu selesai mengajar mata kuliah Public Speaking untuk mahasiswa semester lima. Ruangan dosen adalah satu-satunya ruangan yang harus aku tuju secepatnya. Dengan lembar penilaian sidang proposal di tangan kiriku, aku mempercepat langkah untuk bisa sampai di ruangan yang berada di ujung lorong.

Ingat, Na. Tenang. Aku mengatur napas perlahan begitu sampai di depan ruang dosen.

"Kasian toh? Mbok yo kalau mau membimbing itu yang bener! Nggak sanggup yo jangan diterima. Mahasiswa juga 'kan yang jadi korbannya?"

Rasanya dinding-dinding kampus sudah tidak lagi bisa meredam suara-suara sumbang dari dalam ruangan sana. Tiap kata terdengar sangat jelas, bahkan aku menangkap setidaknya beberapa mahasiswa mulai melirik ke arahku padahal sebelumnya mereka tengah fokus melakukan kegiatan masing-masing. Lembar-lembar revisi skripsi, perasaan takut dan excited saat menunggu waktu bimbingan, susahnya tugas yang harus dikerjakan, mepetnya deadline yang diberikan, ternyata kalah telak dengan perasaan kasihan mereka padaku. Lewat suara-suara dari dalam sana, kami yang mendengarkan tahu, kalimat itu paling menyakiti siapa.

They said like that simply because they don't know and won't understand.

Satu...

Dua...

Tiga...

Napasku mulai kembali tenang selaras dengan terulurnya tanganku pada gagang pintu.

"Ngono iku... (begitu itu) kalau dibesarkan dengan duit korupsi."

Belum selesai ternyata?

Punggungku tiba-tiba terasa dingin saat sekelebat ingatan mengenai obrolanku dan Algis saat berada di Lombok beberapa minggu yang lalu. "Ini bukan yang pertama kalinya. It's happened several times. Bahkan, mungkin setiap hari. Ketika orang lain ngomong baik-baik di depanku and turns out to be bad-mouthing me behind my back. Dari dulu selalu begini. Anehnya, why can't I get used to it? Why does it still feel like hurt? I thought, I can do it. But... " Tanpa aku sadari, kepalaku menggeleng pelan, persis gestur yang dilakukan Algis saat melengkapi kalimatnya.

"Makanya, latar belakang keluarga itu ya... Aduh... Arep anak menteri kek, anak wong pasar (mau anak menteri kek, anak orang pasar) kalau diajarkan sama baiknya, yo pasti baik kelakuannya."

Tanpa aba-aba dan hitungan seperti sebelumnya, aku membuka pintu ruangan dosen dengan sekali sentak. Mendapatkan empat dosen yang tengah duduk di sofa dalam ruang dosen. Tidak sepertinya, mereka yang biasanya langsung diam ketika melihatku menangkap basah kelakuan tidak profesional yang sering mereka lakukan itu kali ini kelihatan menatapku lurus sambil menyipitkan mata.

Salah satu dari mereka yang kuketahui sebagai dosen honorer yang sempat meggantikanku saat cuti kemarin juga duduk disana. Ia membuang pandangannya ke sembarang arah saat tatapan kami tidak sengaja bertemu begitu aku masuk ke dalam sini.

Ibu Lusy satu-satunya wanita yang memilih duduk di salah saru sofa tunggal bertanya. "Ada urusan apa, Ibu?" Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan keramahan yang baik ataupun yang palsu like she always used to do.

"Saya ada urusan dengan Ibu Adelia," jawabku tenang. Memang aku perlu ada urusan dulu untuk datang ke sini? Kalau bisa aku sangat ingin menjawab seperti itu. Tapi, sekarang aku sangat butuh untuk tenang.

Keempatnya menganggukan kepalanya bersamaan. "Mau bahas tentang hasil sidang proposal, ya?" Bu Ribut—salah satu dosen yang juga bertugas membimbing skripsi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris—menanggapi jawabanku. Belum sempat buka suara, ia kembali menimpali. "Jelas lah, ya, harus begitu. Kerja sama yang baik. Perlu dijadikan contoh ini," sambungnya diimbuhi tawa kecil di akhir kalimat.

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang