CON-33

41.1K 4.2K 1.1K
                                    

Kurasakan usapan tangan Algis pada rambutku. "Let me ask you once again," bisiknya sangat pelan. Ia sepenuhnya menyandarkan kepalanya di bahuku. "Apa kamu sudah lega dengar penjelasan hanya lewat obrolanku sama Papa aja, Mbak? Apa itu udah cukup buat kamu untuk mengambil keputusan kalau memang nggak ada lagi yang bisa diharapkan dari kita berdua?" Suara Algis makin memberat selaras dengan helaan napasnya yang terdengar jelas di telingaku.

"Berisik." Tubuhku mendadak kaku, mendengar bagaimana Algis bergumam cukup dekat dengan telingaku. "Di sana berisik banget," sambungnya sambil mengetuk kepalaku pelan. "Dari dulu kamu selalu begini. Sibuk mikir sendiri. Aku tahu kalau kamu bingung sekarang. Setelah lima bulan nggak ngabarin apa pun lalu aku muncul, like nothing had happened . It just not you, Mbak Na. Aku bahkan harus menahan diri waktu ketemu kamu di Chomiere kemarin. I did a double take when I saw you there—in front of me. Sekarang, kamu ada di sini. We're so close..." Berbanding terbalik dengan apa yang dikatakannya, Algis justru melepas pelukan kami. Ia bahkan langsung memindahkan kedua tangannya masuk ke dalam saku celana sembari memundurkan langkah. "... but it just for me. When I thought that I still had chance to get you back... I thought..." Ia mengulang kalimat terakhirnya beberapa kali. "That's the problem. Ternyata cuma aku aja yang selama ini menganggap kalau kita masih ada kesempatan."

Kepalaku tertunduk dalam selagi mendengar penuturan Algis barusan. Sama sekali tidak berani mempertemukan pandangan dengannya. "Maksudku bukan gitu, Gis."

Aku tidak tahu bagian mana yang lucu dari situasi dan kondisi kami yang berhasil membuat Algis tertawa. "Aku bisa ikutan gila kalau begini, Mbak," gumamnya pelan. Meskipun terdengar tidak jelas, tapi aku masih bisa mendengarnya. Perlahan, aku menaikkan pandangan dan melihat Algis meraup wajahnya kasar adalah hal pertama yang aku lihat setelah sibuk memalingkan tatapan agar bisa menghindari wajah pria itu. "You're the most complicated person I've ever known," gumaman yang datangnya dari Algis kembali terdengar. "Sebelumnya kamu bilang kalau mau dengar penjelasanku, setelah itu kamu menolak dengan alasan kalau semuanya demi kebahagiaanku. Tadi kamu nangis, dan sekarang kamu tetap bersikeras kalau semua yang aku bilang barusan nggak benar. Kamu ini... maunya apa?" Pertanyaan itu dilontarkan dengan senyum tipis di bibirnya. Berbeda dengan sebelumnya, Algis kali ini menatapku lekat-lekat.

Dibawah tatapannya, aku kembali dibuat tidak bisa berkata apa-apa. Harusnya aku menyetujui ucapan Algis—kalau aku memang nggak memberi kesempatan lagi pada hubungan kami meski nyatanya selama lima bulan ini aku selalu menunggu dan sedikitnya berharap kalau dia akan kembali seperti yang sudah ia janjikan sebelumnya padaku. Tapi keinginan itu mendadak hilang begitu tahu kalau ada sesuatu yang harus dikorbankan Algis untuk mendapatkan kesempatan itu.

Bukannya aku tidak mau, tapi apa ada yang bisa berubah dari penjelasan Algis nantinya? Faktanya masih akan sama. Kalau ternyata aku mungkin saja menjadi salah satu alasan dibalik keputusan perceraian orangtuanya.

"See?" Suara Algis kembali terdengar, mendadak menyadarkanku. Tatapan kami kembali bertemu. Sambil mengedikkan dagu ke arahku, ia berkata. "Kamu itu mikir apa sih? Apa yang kamu simpulkan lagi sekarang? Kamu mau cari alasan apa buat menghindari aku, huh?" Nada suara pria itu makin meninggi di akhir kalimat.

Ini pertama kalinya aku melihat Algis seperti ini. Kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuh lalu tatapanku naik menuju rahangnya yang mengerat. Jantungku benar-benar hampir lepas dari tempatnya saat menemukan tatapan menusuk yang diarahkan pria itu tepat ke arahku. "Gis." Entah apa yang aku lakukan, tapi aku berharap dengan memanggil namanya, Algis akan sedikit tenang.

"God," erangnya frustasi. Ia meraup wajah dengan kasar, seperti melampiaskan rasa kesalnya. "It's not fair at all." Aku mengernyitkan dahi, tidak begitu paham dengan konteks ucapan Algis. Ditambah gelengan kepalanya, ia menatapku lurus. "Aku bisa aja ninggalin kamu, seperti apa yang kamu mau. Sialnya, aku nggak bisa. Dengan kamu menolak mendengarkan penjelasanku, sama aja kayak kamu nggak menghargai usahaku selama lima bulan ini, Mbak. Rasanya hal itu udah cukup jadi alasanku untuk nggak lagi berdiri di hadapan kamu, minta kesempatan lagi untuk menjelaskan... But I can't do that! Kamu lihat aku sekarang ada di mana, Mbak Na? Bahkan setelah kamu menolak dan memandang rendah usahaku, aku masih memilih untuk ketemu kamu tapi kamu..." Lagi, sebuah gelengan kepala dipilih Algis untuk melanjutkan perkataannya.

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang