CON-32

48.2K 4.3K 959
                                    

Aku menatap laman email berisikan puluhan pesan dengan lampiran yang harus aku download selagi iPhone yang ada di atas tumpukan map dekat meja terus-terusan berbunyi. Kalau saja itu bukan gadget milik Dewa yang sepertinya sengaja ia tinggalkan sebelum pamit sholat tadi, mungkin aku sudah meninggalkannya di luar pintu karena sejak setengah jam yang lalu suaranya berhasil menganggu konsentrasiku dalam menyelesaikan beberapa tugas terkait dengan dokumen pembangunan Sekolah Inklusi.

"Tsk." Setelah berhenti beberapa menit, dering telpon kembali terdengar memenuhi ruangan kerja milik Dewa yang kutempati saat ini. Aku sudah dengar tentang kekasih baru Dewa yang pencemburu itu dari hasil curi dengar beberapa stafnya di pantry, tapi aku tidak tahu kalau ternyata aslinya akan seburuk ini. Meskipun, aku sering datang ke kantor Ruang Khusus, kesempatan untuk bertemu dengan kekasih pemilik salah satu yayasan pendidikan besar di Surabaya itu selalu terlewat karena aku jarang menghabiskan waktu sampai malam di sini. Yang aku curi dengar (lagi) wanita itu akan datang tiap malam untuk bertemu dan menjemput Dewa. Sesuai dengan bahan bercandaan beberapa staf dan teman Dewa yang kerap mampir ke sini dengan mengatakan kalau kantor Ruang Khusus sudah berubah fungsi menjadi daycare, melihat dari bagaimana Tara—nama kekasih Dewa—yang memiliki jadwal rutin untuk datang menjemput kekasihnya itu.

Selesai mendownload semua lampiran, kututup laman email dari iPad yang masih setia kupangku di atas paha dan mulai fokus membaca satu per satu map yang berisikan dokumen tentang tata cara pembangunan yayasan pendidikan di atas meja. Baru mencapai dua halaman, suara dering dari iPhone Dewa kembali terdengar memecah keheningan. Selagi The Man Who Can't Be Moved mengalun dari sana, aku berdiri dan berjalan menuju meja kecil tempat di mana gadget milik pria itu tergeletak. Sambil melipat kedua tangan di dada, aku menggelengkan kepala. "It's a little bit weird, I mean for a girl's name..." Seharusnya nama Tara atau pet name lain yang kulihat di layar iPhone milik Dewa bukan—

—Algis Aditya H. [FuturEdu] is calling...

Gelap. Mataku masih memaku pada satu deret nama yang sama sampai panggilan tidak terjawab itu terputus. Sekelebatan ingatan dari pertemuan pertama kami kemarin mendadak berebut masuk memenuhi isi kepalaku. Belum, aku masih belum mendengar penjelasan apa pun dari pria itu. Bukan cuma kemarin tapi juga pertemuan terakhir kami di apartemenku sore itu, kami dipisahkan karena waktu. Geez, why does it sound so dramatic, huh? Intinya kemarin aku harus pamit pulang duluan, meninggalkan Ibu Arkadewi dan Algis di tengah acara makan siang sekaligus reuni canggung kami—in this case, it might just be me—dengan alasan harus kembali ke kampus karena aku sudah memiliki janji dengan jajaran petinggi yayasan kampus juga rektor.

"Najmi."

Tanganku berhenti di udara, aku hanya menggeser sedikit tubuhku dari samping pintu mobil.

"Not now." Berdiri diam tepat di sampingku, Algis mengenggam kelingkingku dan langsung melepasnya saat aku meluruskan posisi tubuh agar bisa menghadap sepenuhnya ke arahnya. "I'm not going anywhere, Gis. Aku nggak lagi cari alasan buat pergi, di antara kita berdua kamu pasti tahu siapa yang paling butuh mendengarkan penjelasan itu,  kan? Sebelum kamu, petinggi-petinggi yayasan kampus udah ada janji sama aku lebih dulu," jelasku membuat kepalanya yang tadinya tertunduk, mengangguk pelan.

Tidak mendapatkan respon apa pun dari Algis, dengan car key yang masih ada di genggaman tangan, aku membalikkan tubuh kembali menghadap ke pintu mobil sebelum aku merasakan tarikan lembut yang membuatku sukses memaku posisi dengan tubuh yang kaku. "Hati-hati," bisiknya dengan bibir yang menempel di sisi pelipisku.

I'm not moving...

Sisa kesadaranku kembali terkumpul penuh ketika Danny O'donoghue mengulang lirik yang sama. Lagipula ada apa dengan pilihan musik yang digunakan Dewa untuk panggilan masuknya sih? Nggak ada yang salah, timingnya saja yang tidak pas. Lirik yang kudengar sejak setengah jam yang lalu itu rasanya seperti sengaja mengolok-olokku. Seriously, Na? Sepenuhnya sadar, aku mendengus pelan, menertawai secuil pemikiran super dramatis yang terlintas di benak hanya karena sepenggal lirik lagu dan sederet nama lewat iPhone milik Dewa. Masih berdiri di depan meja kecil, aku menatap nama yang sama kembali muncul di layar. Suara pintu terbuka membuat tanganku berhenti di udara, memutar kepala menghadap ke arah pintu yang bersebrangan dengan posisiku sekarang dan menemukan Dewa berdiri mematung di depan pintu ruangannya dengan raut wajah yang bahkan enggan aku deskripsikan setelah menangkap basah diriku yang dengan sangat lancang mengambil iPhone miliknya.

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang