CON-29

32.1K 4K 801
                                    

Ini sudah lebih dari satu jam aku menunggu dan bukannya aku tidak tahu kalau beberapa waitress sepertinya sengaja berjalan melewati mejaku, beberapa kali mereka bahkan menanyakan pesananku. Seharusnya, sesampainya di The Consulate, aku langsung memesan Grilled Salmon with Mushroom Sauce yang menjadi favoriteku di sini tepat sebelum tahu kalau aku harus menunggu lebih dari satu jam dan sukses membuatku kehilangan napsu makan. Pasrah, aku menatap kembali Cartier Crash yang melingkar di tangan kiriku. Astaga... sudah hampir satu setengah jam aku menunggu dan dia juga masih belum datang?

Kembali kukeluarkan handphoneku dari clutch bag yang sejak tadi setia kupangku dan meletakkannya di atas meja. Aku menaikkan pandangan saat menemukan salah satu waitress berdiri di sisi meja. "Excuse, Miss. May I take your order?" tanyanya ramah, dia tersenyum dengan postur tubuh tegap.

Meskipun aku tidak benar-benar bisa bersikap ramah sekarang, tapi sebuah senyuman kupaksa terulas di bibir. "One Pol Roger Brut Champagne. Thank you." Aku tahu kalau sejak tadi aku menolak untuk memesan karena ingin menunggunya. Tapi ini sudah berlebihan, sudah satu setengah jam berlalu dan aku tidak bisa membiarkan diriku jadi bahan pembicaraan beberapa waitress karena sikapku yang cukup ketus tadi.

"Please wait a minute, Miss." Sebelum meninggalkan mejaku, waitress itu sempat membungkukkan badannya sebentar dan melemparkan senyumnya ke arahku.

Sepeninggal waitress tadi, aku kembali menatap layar handphone yang masih saja gelap sejak tadi. Harusnya tadi aku menunggunya membalas pesanku, bukan langsung berangkat karena terlalu excited bisa menghabiskan waktu bersamanya setelah dua minggu ini kami tidak pernah bertemu karena kesibukan kami masing-masing.

Pagi tadi aku bahkan susah merencanakan untuk mencari tempat kursus Yoga setelah jadwal mengajarku selesai dan ketika mendapatkan pesan kalau dia sudah berhasil mereservasi meja di The Consulate untuk dinner kami malam ini, tentu saja membuatku senang luar biasa. Tapi, perasaan senang yang luar biasa itu mendadak menguap bersama satu setengah jam yang harus aku lewati hanya agar bisa menghabiskan waktu bersamanya.

Tidak hanya itu saja, alasan lain yang membuatku kesal adalah karena nomornya tidak aktif. Pesan dan panggilan kulakukan lakukan jelas tidak akan berpengaruh sama sekali. Sebenarnya bisa saja aku memilih pulang ke apartemen saat harus menunggu selama dua puluh menit awal. Itu batas waktu kesabaranku dalam menunggu. Seharusnya aku sudah ada di apartemen, bukan duduk di sini sambil memandang Flute yang sudah terisi sampanye. I miss him. That's why I stay here, even if I have to break my own rules.

Menghela napas keras, aku akhirnya memutuskan untuk mengambil handphone dan melakukan panggilan sekali lagi. Mencoba peruntungan? Well, let's see! "Where are you?" gumamku di sela nada sambungan. Kalau boleh jujur, selain kesal, aku juga khawatir. Ini pertama kalinya aku dibuat menunggu saat akan bertemu dengannya. Biasanya dia akan menjemput memang, tapi sore tadi ada meeting yang harus ia datangi, dan memintaku untuk berangkat duluan. Kalaupun aku harus menunggu, tidak pernah ia membuatku menunggu se lama ini.

"Na?"

Mataku terpejam erat begitu sambungan telpon kami tersambung. "Where are you?" Selama dia baik-baik saja, aku akan melupakan kekesalanku padanya. Serius! "Yan, kamu di mana? Aku udah di The Consulate," tanyaku mengulang pertanyaan yang sama.

Sengaja aku menjauhkan handphone dari telinga saat tidak ada suara apapun yang bisa aku dengar. Sambungan kami masih tersambung ternyata. "Na, can you wait a few minutes? I just finished my meeting." Setelah beberapa detik, akhirnya aku bisa mendengar suara Fian lagi.

"It's okay. I will wait and promise myself to not drive too fast," jawabku mencoba menenangkannya. Dari nada suaranya, aku bisa tahu kalau Fian terdengar sangat terburu-buru sekarang.

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang