CON-19

45K 5.3K 1K
                                    

I've done a lot of 'my first time' with Algis. Sebelumnya, aku sama sekali tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Takut dan bahagia di saat yang bersamaan. Menjalin hubungan dengan Algis, memberi label pada hubungan kami, adalah sesuatu yang kami inginkan pada akhirnya. Tapi, aku tidak bisa menutupi ketakutan pada diriku sendiri yang merasa kalau semuanya rasanya terlalu cepat. Sejak semalam, pertanyaan yang sama selalu memenuhi otakku. "kenapa bisa secepat ini?" Padahal baru beberapa minggu lalu, aku masih bingung dengan perasaanku sendiri. Perasaan takut tiba-tiba menjalar di hatiku, takut kalau apa yang aku ucapkan pada Algis hanya sekedar tindakan impulsif karena situasi semalam yang cukup mendukung. I told you, it's hard to keep myself sane when Algis's around.

Aku mengarahkan kamera ke segala arah, sepanjang perjalanan dari unit villaku ke unit villa yang ditempati Algis. Car golf yang kutumpangi berjalan cukup lambat, sepertinya si driver—Mas Slamet—tahu kalau aku perlu mengambil video pemandangan sekitar villa dengan handphoneku. Maklum saja karena sejak kedatanganku ke Lombok dua hari lalu, ini pertama kalinya aku punya waktu untuk pergi sekedar berkeliling di area Malimbu dan letak villa Algis yang jauh lebih dalam daripada villa tempatku dan Sintya menginap, membuatku memiliki kesempatan untuk menikmati pemandangan dari salah satu villa terkenal di pulau Lombok ini.

"Sudah sampai, Bu."

Kutekan tombol pause pada rekaman video di handphoneku, begitu Mas Slamet menghentikan laju golf car tepat di depan unit villa yang ditempati Algis. Well, unit villa yang di sewa Algis ini memang unit paling mahal harga sewa per malamnya di Malimbu. Jadi, tidak heran saat melihat pemandangan pintu kayu besar dengan ukiran khas Lombok yang ditunjuk Mas Slamet barusan.

Setelah memasukkan handphone ke dalam clutch bag dan menenteng kembali laptop yang sebelumnya kupangku, aku mengucap terima kasih pada Mas Slamet sebelum mendorong pintu kayu itu perlahan. Saat terbuka, aku melihat dua tangga—masing-masing di bagian kanan dan kiri—sementara di bagian tengahnya terdapat dinding tinggi yang membatasi dan tepat di bagian depannya terdapat kolam ikan yang cukup besar dengan air terjun buatan di bagian atasnya. Sayup-sayup kudengar suara tawa dan tepukan tangan dari arah belakang kolam ikan. Memutuskan untuk memilih menaiki tangga yang berada di sisi kanan, aku melihat Algis dan ajudan-ajudannya sedang bermain tenis meja di sebelah kolam renang.

Ririn terlihat tengah duduk di sun lounger dengan macbook di pangkuannya, sementara Haidar kelihatan berdiri tidak jauh dari sisi Algis. Ia sesekali tertawa saat melihat Husein kehilangan kesempatan mengembalikan bola yang di lempar Algis padanya.

Udin yang berjongkok di belakang Husein adalah orang pertama yang menyadari kedatanganku. Pria yang kutemui pertama kali saat aku mengajak Algis makan siang untuk pertama kalinya itu langsung berdiri dan membungkukkan badannya segan begitu tahu aku tengah berjalan menuju ke arah mereka.

"Ibu," sapanya pelan, hampir bersamaan dengan Husein yang entah sejak kapan sudah melepas bet tenisnya dan ikut-ikutan berdiri bersisian dengan Udin.

Mengulas senyum, aku menunjuk raket tenis yang tergeletak di atas meja. "Lanjutin aja." Aku melanjutkan langkahku mendekati Algis. "Morning," sapaku memeluk pinggangnya dan persis seperti yang aku duga, Algis hanya menggumam tidak jelas sebelum menyuruh Husein untuk kembali mengangkat bet tenisnya.

Haidar terlihat mengangsurkan bola tenis ke tangan Algis. "Minggir dulu," katanya sambil melepaskan tanganku dari pinggangnya.

Calm down, Na. Nggak perlu ditanggapi dengan kemarahan. Aku membuang napas perlahan lalu melanjutkan langkah menuju Ririn yang kelihatan membelalakan matanya lebar saat melihat perlakuan Algis padaku barusan.

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang