CON-POST CREDIT

62.9K 4K 1.3K
                                    

Algis Aditya Hartadinata's POV

Nana?

Nana, ya?

"Saya sudah tahu Nana sejak lama. Sebatas kenal saja, sebagai anak salah satu rekan kerja Ayah dan sahabat baik Ibu saya. Saat masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, beberapa pemberitaan mengenai Nana pernah sampai di telinga saya. Kalau nggak salah, saat itu Nana masih menjabat sebagai Kaprogdi di salah satu universitas swasta di Surabaya. Meskipun orangtua kami dekat, bidang pekerjaan kami juga sama, ada banyak pertemuan yang memungkinkan kami bertemu—nyatanya malah lewat satu kemungkinan yang punya presentasi paling kecil lah, kami dipertemukan."

Life is full of surprises and miracles. We don't have a clue about what will happen in the future, and they said it is supposed to be like that. No doubt about it, no one can predict how it'll go. The same case goes for me. Who would have thought that today—the day has finally come where I can tell everyone about Nana and the future that we want to have together later as a husband and wife?

"Di mana?" Aku bahkan masih ingat pakaian, posisi meja, dan raut wajah yang dibuat Nana saat pertama kali menjabat tanganku malam itu. "Pertemuan pertama kami itu di salah satu restaurant di Surabaya. Kebetulan, rekan kerja saya saat itu ternyata saudara dari sahabat Nana. Kebetulan juga, mereka nggak sengaja bertemu di sana. Saat itu untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Nana." Senyumku terulas refleks begitu ingatanku membawaku ke masa awal pertemuan kami.

Kalau Nana bukan anak dari rekan kerja Ayah atau sahabat Ibu—sekali pun kami tidak memiliki keterikatan yang membuatku bisa mengenal Nana sebelumnya—aku rasa tidak sulit untuk merasa tertarik dengan Nana dalam sekali lihat. Nana cantik. Telapak tangannya hangat saat menjabat tanganku. Senyumnya yang asimetris saat aku memperkenalkan diri. Belum lagi, caranya mencuri pandang ke arahku dari mejanya. Malam itu—malam di mana pertama kalinya aku bertemu dengan sosok 'cantik itu Najmi anaknya Bapak Darmawan' yang selalu dibicarakan banyak rekan politisi termasuk Ibuku sendiri. Malam itu, aku membenarkan sendiri kalau anak Bapak Darmawan memang cantik. Namanya Najmi.

Damara Najmi Prabaswara, lebih tepatnya.

Aku menatap lurus ke arah kamera. Meskipun sudah mengingatkan diri untuk mencoba menahan senyum, tapi semuanya gagal saat nama Nana dituliskan lewat layar prompter yang ada di hadapanku sekarang. "Mbak Nana? Oh, sebenarnya itu panggilan dari keluarganya Nana. Sehari setelah bertemu dengan Nana,ada kebetulan lain—besoknya saya memang ada janji main golf dengan Bapak Darmawan. Saya sudah sering main golf dan se sering itu juga saya dengar panggilan Mbak Nana dari beliau. Mungkin karena sudah terbiasa, jadi sampai sekarang saya juga ikut terbiasa manggil Mbak Nana. Nana memang nggak pernah mempermasalahkan panggilan itu, tapi akhir-akhir ini kadang dia suka protes. Kebanyakan orang-orang yang baru pertama kali ketemu selalu mengira dia lebih tua daripada saya, karena saya manggilnya Mbak begitu, kan." Tulisan di prompter kembali berubah. "Saya sendiri sudah 39 tahun, sementara Mbak Nana 35 tahun," jawabku singkat.

Aku menghela napas perlahan, sebelum kembali bicara. "Jadian? Aduh, lupa saya. Selama ini, kami berdua itu nggak pernah merayakan anniversary seperti pasangan-pasangan lainnya. Bisa jadi karena alasan, kami sama-sama lupa tanggalnya dan juga saya dan Nana itu nggak terlalu mau meributkan hal semacam itu." Dan alasan lainnya, karena sebenarnya kalau ditanya mengenai hari jadian dan semacamnya untuk kami berdua bukannya jawabannya bakal jauh lebih rumit, ya?

"Kalau begini, kenapa saya jadi merasa bersalah ke Nana, ya?" Benar. Sejauh apa sih perbedaan kami dengan pasangan pada umumnya? Selama ini Nana memang tidak pernah meributkan soal anniversary-annivesary semacam itu, tapi bukan berarti dia tidak ingin melakukannya juga, kan? Payah, Gis! Suara tawaku memenuhi set studio. "Kalau ngomongin soal hadiah... Ini saya ya—saya nggak perlu menunggu hari spesial untuk memberi Nana hadiah. Kapan saja, kalau memang saya mendadak kepikiran."

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang