CON-7

43.2K 6K 989
                                    

"Na, di mana?"

Mengapit iPhone di perpotongan leher dan bahu, aku berusaha menjawab panggilan dari Nolan sembari memisahkan tugas critical writing antara kelas pagi dan malam di dalam ruanganku. "Di kampus, kenapa?"

"Jam segini masih di kampus?"

"Iya," jawabku singkat. Tanganku masih lincah memisahkan ber lembar-lembar kertas di atas meja. "Ada kelas malam, hari ini," lanjutku menjelaskan.

"Masih lama nggak kira-kira?"

"Hm." Aku menatap jam dinding yang berada di dalam ruanganku sekilas. "Mungkin jam 10 udah selesai."

"Mampir ke sini ya sebelum balik. Naik taxi aja, ntar pulangnya gue anter balik."

Meluruskan leher, aku mengalihkan mode speaker pada handphone milikku dan meletakkannya di samping tumpukan lembar tugas dari kelas malam. "Ke sini itu ke mana?"

Kudengar tawa Nolan meledak di seberang sana, "sorry, sorry. Ke Amorelis," jawabnya tidak jelas karena teredam suara tawanya sendiri.

"Ngapain ke sana?"

"Oh, c'mon." Nada Nolan terdengar menyebalkan sekarang. "Masa' lo marahan sama Algis sampai nggak mau mampir ke restaurantnya sih?" godanya padaku.

Aku menghempaskan punggungku pada sandaran kursi. "Ngapain ke sana?"Aku butuh jawaban yang benar, jadi kuputuskan untuk kembali menggulang pertanyaanku.

Nolan terdengar menghela nafas pelan. "Intinya kalau lo nggak ke sini gue bisa dibunuh sama Aline, Na. Beneran."

"Ha?"

"Gue jelasin kalau lo udah sampai."

"Nggak ada. Jelasin sekarang kalo lo mau gue ke Amorelis."

Suara gemerisik terdengar cukup lama, sebelum akhirnya suara Nolan memenuhi ruanganku. "Ini, gue ada klien. Cewek. And I'm all alone here. Lo tahu sendiri Aline gimana, kan? Just help me this time, Na. I'll pick you up, deh?"

"Bentar aja, ya. Besok gue ada kelas pagi."

Nolan bergumam 'yes' di seberang sana. "Okay, ntar gue jemput, ya." Aku hanya bisa membuang napasku kasar saat mendengar nada manis Nolan yang dibuat-buat. Kalau bukan karena Aline, aku tidak akan membiarkan Nolan menganggu jam istirahatku seperti ini.

"Langsung ketemu aja," kataku menolak ide Nolan untuk menjemputku ke kampus.

"Yakin? Okay, see you at Amorelis, ya!"

Aku buru-buru mematikan sambungan telpon begitu menjawab "hm" pada Nolan.

Hampir sama seperti hari Senin biasanya, aku menghabiskan waktu lebih banyak di kampus karena hari ini aku memiliki jadwal mengajar yang penuh-mulai dari kelas pagi hingga malam-menyusun RPP dan mengawasi program KRS yang akan digunakan untuk semester depan-aku juga sibuk mengurusi program baru PKL atau program kerja lapangan.

"Ya, saya menganggap bahwa saya ini sebenarnya adalah penyambung ide masyarakat. Proyek Sekolah Bersama ini bisa terwujud karena masyarakat kita yang sudah melek tentang betapa pentingnya pendidikan untuk anak-anak."

Kualihkan pandanganku ke arah televisi dan menemukan wajah Algis memenuhi layarnya. Senyum lebar menghiasi wajah lelahnya, meski di cecar banyak pertanyaan dari wartawan dan dikerubungi masyarakat-pria itu masih tersenyum bangga. Jelas, karena Algis berhasil mewujudkan project sekolah gratis yang dia janjikan di awal masa kerjanya. Project yang di tanggapi skeptis oleh masyarakat, beberapa rekan politisi, termasuk aku yang awalnya juga ikut meremehkan project itu. Bukan tanpa alasan-mereka-aku-yang berpikiran bahwa sekolah gratis ini tidak akan berhasil dikarenakan ide berlabel 'sekolah gratis' seperti ini sudah sering di cetuskan, bahkan ada beberapa 'sekolah gratis' yang sudah dijalankan sebelumnya tapi nyatanya tidak berhasil meyakinkan-terutama untuk target masyarakat ke bawah untuk lebih sadar akan pendidikan.

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang