CON-9

46.3K 5.4K 420
                                    

Aku masih ingat kali pertama Mama memergokiku tengah merokok di apartemen saat kuliah dulu. Bukannya marah, Mama kelihatan kecewa. Saat itu aku nggak tahu arti dari raut wajahnya karena yang kupikirkan waktu itu hanya kelegaan yang luar biasa karena Mama tidak marah. Tapi saat ini umurku sudah 33 tahun, bukan remaja labil yang melarikan diri dari masalah dengan merokok diam-diam di toilet apartemen. Dan tadi pagi aku melihat kekecewaan yang sama tercetak jelas di wajah Mama saat mengetuk kaca mobilku di area drop off apartemen. Aku tahu ada yang salah dengan Mama saat ia hanya memberikan senyum tipis pada Algis dan langsung meninggalkanku tanpa mengatakan apapun begitu Algis pamit untuk pergi ke bandara. I tried to call her several times and leave her a message, but I got nothing in return.

Akhirnya, aku mencoba untuk menghubungi Papa setelah sampai di kampus. Aku tidak sempat mengatakan apapun karena Papa langsung bersuara begitu panggilan tersambung.

"Nanti mampir dulu ke rumah." That's all he said before hanging up on me. I'm at a loss for ideas... apa sebegitu parahnya menemukanku dan Algis berada di dalam satu mobil yang sama? I mean, we're not doing anything bad there.

Aku malah berpikiran sampai sejauh mana keadaan ini akan memburuk saat Mama tahu kalau Algis sempat kutawari masuk ke dalam apartemenku—melihat responnya yang tidak kusangka-kusangka saat mendapatiku dan Algis berada di tempat yang sama.

Beruntungnya, pekerjaan hari ini tidak terlalu banyak. Aku hanya perlu mengajar tiga kelas di siang hari lalu di lanjut rapat bulan bersama dosen-dosen fakultas Bahasa dan Sains setelahnya aku bisa mampir ke rumah untuk bertemu Mama.

"Bu Najmi, mau pulang?" Ibu Retno, salah satu dosen senior di jurusan Sastra Indonesia menyapaku saat aku baru saja keluar dari dalam ruang auditorium yang kami gunakan untuk mengadakan rapat bulanan. "Tumben sendirian? Biasanya bareng sama Miss Adelia."

Aku menarik salah satu kursi lipat yang berada di dalam ruang auditorium dan mempersilahkan Ibu Retno untuk duduk. Beliau adalah salah satu dosen yang kukagumi on every aspect. Selain dedikasinya yang tinggi di dunia pendidikan, segala hal yang menyangkut tentang ketekunannya berhasil membuatku kagum. Jika kukatakan beliau sudah berumur 68 tahun banyak orang yang tidak percaya. Karena daripada mahasiswanya yang masih muda dan kuat secara fisik, Ibu Retno lebih memilih naik tangga untuk menghadiri kelas daripada menggunakan lift. Seperti sekarang, ia menolak secara terang-terangan kursi yang kuangsurkan untuknya.

"Di dalam, saya sudah duduk lama." Begitu alasannya saat menyuruhku untuk meletakkan kembali kursi lipat itu ke dalam auditorium.

Selesai meletakkan kursi tepat di belakang pintu ruangan, aku kembali menghampiri Ibu Retno. "Miss Adelia tadi izin untuk meninggalkan rapat karena ada kelas yang harus diisi sore ini." Beliau mengangguk-anggukan kepalanya. "Bu Retno mau kembali ke ruangan atau langsung pulang?"

Kulihat Ibu Retno mengacungkan map berisikan dokumen di tangan kirinya. "Saya harus selesaikan ini dulu. Visitasi accesor satu bulan lagi." Refleks, aku memberikan lengan saat beliau mulai melangkah. Sambil mengamit lenganku, Ibu Retno kembali melanjutkan. "Mbak Nana mau pulang sekarang?" Kami menuruni satu per satu tangga untuk sampai ke lantai dua—ruangan Ibu Retno berada—dari lantai empat di mana ruang auditorium tempat kami baru menyelesaikan rapat saat beliau mulai memanggilku dengan sebutan Mbak Nana. Selain Ibu Retno, aku memang dekat dengan beberapa dosen senior dan mereka lebih memilih memanggil dengan sebutan Mbak Nana jika sedang berdua bersamaku.

"Iya. Semua kerjaan sudah selesai dan kebetulan saya nggak ada jadwal mengajar sore dan malam nanti," jawabku masih dengan mengenggam tangan Ibu Retno yang ada di lengan kiriku. "Apa nggak lebih baik Ibu pulang dulu? Sudah hampir jam setengah enam. Sekalian saya antar karena kebetulan searah."

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang