CON-35

45.5K 4.1K 999
                                    

"Mereka cerai beneran, ya?"

"Kayaknya sih? Padahal selama ini kelihatan langgeng banget, nggak ada berita yang aneh-aneh juga."

Hati-hati, panas! Aku sedang berurusan dengan kopi yang sedang aku buat di pantry saat ini dan ketika aku membicarakan panasnya, tentu air panas yang aku maksud-mungkin dengan tambahan, kedua telingaku. Tanganku terulur mengembalikan sugar jar ke dalam cabinet, membatalkan niatanku untuk menambahkan gula ke dalam kopi. Posisiku yang membelakangi para staf, memudahkanku untuk tidak perlu repot-repot menyembunyikan raut malas ketika mendengar perbincangan asal mereka. Kenapa aku bilang asal? Karena ucapan-ucapan yang selanjutnya aku dengar, luar biasa tidak masuk akalnya. Dugaan-dugaan tidak berdasar yang mereka simpulkan tanpa megkonfirmasi kebenarannya itu terus-terusan terdengar bersahutan. Are they being serious? What's wrong with these people? Aku menggelengkan kepala, merasa tidak habis pikir dengan apa yang baru saja aku dengar.

"Jangan-jangan, salah satunya selingkuh?"

Serius, aku hampir saja menjatuhkan cangkir kopiku kalau tidak buru-buru meletakannya kembali di atas meja bersamaan dengan suara sorakan dan tawa yang datangnya juga dari mereka.

"Udah pada tua juga. Masa iya alasan cerainya gara-gara selingkuh?" Tawa kembali terdengar. Kali ini bahkan diimbuhi suara gebrakan meja yang dihasilkan tangan-tangan mereka.

Aku terpaksa mengabaikan kopi milikku di atas meja dan berjalan keluar dari pantry. Harusnya aku tadi menerima ajakan Dewa untuk pergi ke Starbuck-meskipun harus menemui Tara yang dengan mata telanjang pun, semua orang bisa tahu kalau kekasih Dewa itu sama sekali tidak menyukaiku-daripada mendengar obrolan staf Dewa yang sukses membuatku tidak nafsu melanjutkan kegiatan ngopi siangku hari ini.

Saat akan memasuki ruangan, Mega yang sepertinya baru saja kembali setelah menghabiskan waktu lunchnya berjalan menghampiriku dengan tergesa-gesa. "Ibu, sudah ya." Ia menunjukkan layar handphonenya kepadaku.

Begitu melihat layar dan menemukan maksud dari ucapan singkat Mega, kepalaku mengangguk sekali. "Thanks a bunch, ya, Ga," balasku, mengulurkan tangan dan menepuk lengannya pelan.

Dengan ibu jari terangkat tepat di depan dada, Mega tersenyum lebar. "No worries, Bu. Ini sih masalah kecil."

Perasaanku yang tadinya sudah benar-benar drop, sedikitnya bisa membaik begitu mendengar berita baik dari Mega. Tadi pagi, aku sempat meminta bantuan Mega yang sebenarnya tidak aku duga bisa dia selesaikan dalam waktu yang singkat, mengingat sejak pagi ia juga harus mengikuti meeting bersama Dewa. "Big bossmu belum balik?" Kepalaku menoleh ke arah ruangan Dewa dan mendapati pintunya masih terkunci rapat.

Mega mengikuti arah pandangku. "Pak Dewa lagi sama Mbak Tara, Bu. Tahu sendiri gimana Mbak Taranya kalau sama Pak Dewa. Mending Ibu langsung telpon saja sekalian." Masih menatap pada arah yang sama, Mega juga memberitahuku kalau Dewa kemungkinan besar tidak akan kembali ke kantor hari ini setelah pergi meeting tadi.

"Gitu ya?" Aku mengembalikan pandangan, menatap Mega yang kini menganggukan kepalanya. "Gampang deh, nggak urgent-urgent banget kok." Sepertinya rencana mendapatkan kursus kilat tentang beberapa research dan juga buku yang ingin sekali aku bahas bersama Dewa yang berkaitan soal pembangunan yayasan pendidikan harus tertunda dulu.

Berdiri di sampingku, Mega meringis pelan. "Kok saya ngelihatnya malah urusannya memang urgent ya, Bu?" Tebakannya memang nggak sepenuhnya salah, buatku diskusi kami memang urgent tapi bagi Dewa mungkin bisa dijadwalkan di hari lain. Melihatku tidak memberikan respons apa pun, Mega kelihatan salah paham. "Saya bantu ngehubungin Pak Dewa saja gimana, Bu? Ibu sungkan 'kan sama Mbak Tara?" sambungnya segan. Apa yang dia katakan lagi-lagi tidak sepenuhnya salah juga.

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang