CON-28

37.4K 4.4K 1K
                                    

We acted like it wasn't a big deal, when really it was breaking our hearts.

Pernah dengar quotes ini? Aku pernah tidak sengaja melihatnya. Lupa, mungkin dulu Aline atau Adelia yang iseng mengirimiku dan kuanggap angin lalu. Tapi, kali ini aku justru mengingatnya dengan sangat jelas.

Ya, sama seperti aku yang sekarang berdiri di belakang pintu kamar. Tanganku sudah mengenggam gagang pintu. Dalam hati aku merapal kalau aku hanya perlu pura-pura tidak terjadi apa-apa maka semuanya akan baik-baik saja.

Membuka pintu kamar dan menemukan Algis sedang duduk di sofa pagi hari ini adalah hal yang paling ingin kuhindari. Setelah semalam aku menutup pintu kamar begitu saja tanpa mau mendengarkan apa yang ingin dia katakan, tentu keadaan dan situasi semacam ini tidak pernah terbayangkan olehku. Aku bahkan berpikir kalau Algis akan kembali ke hotel, I mean, why did he choose to stay after our argument the night before? Why does he smile and say hello after I've ended everything between us without allowing him to say anything?

"Sudah sholat?" tanyanya. Dari awal, Algis sepertinya memang tengah mengawasi kamarku karena begitu aku membuka pintu, pria itu langsung melempar senyum.

Aku menggelengkan kepala pelan sementara kulihat Algis melipat selimutnya. Sambil berdiri dari sofa, ia sempat menarik sedikit celana training yang dipakainya sebelum berjalan menuju ke arahku.

Ia berhenti tepat di hadapanku, kami berbagi jarak yang cukup lebar. "May I?" tanyanya lagi, kali ini ia menunjuk ke dalam kamarku. "Biar aku yang sholat dulu," sambungnya masih menjaga jarak.

Bagaimana dia bisa terlihat baik-baik saja? Ah, he used to act like nothing even happened. Setelah tahu semuanya, bukan hal yang sulit untuk bisa menebaknya. Kugerakkan kepalaku ke atas dan ke bawah, memberikan ijin untuknya masuk ke dalam kamarku. It's his usual manner anyway, kalau di perhatikan sejak datang ke apartemenku semalam, Algis tidak akan menyentuh atau melihat apapun tanpa persetujuanku lebih dulu.

Jadi, kupikir setelah mendapat persetujuanku, Algis akan langsung berjalan masuk ke dalam kamar tapi nyatanya pria itu masih berdiri di tempatnya yang sama. "Kenapa?" Suaraku terdengar serak antara efek baru saja bangun tidur atau karena terlalu banyak menangis.

Sekarang giliran Algis yang terdiam, dia hanya menggelengkan kepala lalu menepuk bahuku sekilas sebelum akhirnya berjalan masuk ke dalam kamar.

Nggak usah dipikirin! Maunya sih begitu tapi entah kenapa respon Algis barusan malah membuatku membuka pintu kamar dan duduk menunggunya di samping ranjang.

"Loh?" responnya kaget saat melihatku ada di dalam kamar.

"Ini," kataku sambil mengulurkan satu sajadah yang sebelumnya kuambil dari dalam lemari.

Lagi-lagi Algis hanya mengangguk tanpa berterima kasih. Aku sebenarnya nggak pamrih, cuma diamnya Algis malah membuatku tidak tenang. "Masih pusing?" Aku mencoba mencari-cari penyebab lain selain kejadian semalam untuk disalahkan mengenai keadaan saling diamnya kami. Konyol, kan?

"Udah nggak separah kemarin kok."

Dalam diam, aku bernapas lega. "Okay." Aku berjalan keluar kamar dan membiarkan Algis melakukan ibadah Subuhnya.

Kakiku melangkah ke arah pantry. Tidak ada yang bisa aku masak karena memang aku belum belanja minggu ini. Rawon sisa semalam juga tersisa sedikit dan rasanya kurang pantas untuk Algis kalau aku menyediakan makanan yang sama pagi ini meskipun aku yakin dia tidak keberatan sama sekali.

Sambil memandang seisi dapur, aku menarik salah satu stool chair untuk duduk. Meskipun tadi Algis bilang kalau keadaannya sudah baik-baik saja tapi wajah pucatnya tidak bisa berbohong. Aku tidak mungkin membuat Salad yang biasanya aku buat untuk sarapan kalau ingin Algis tidak pingsan dan baik-baik saja sampai Jakarta. Yeah... yeah, I'm being too much right now!

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang