Saat Algis mengatakan kalau kami akan menjalani hubungan secara pelan-pelan, aku pikir hal itu dibutuhkan agar kami bisa mengenal satu sama lain dengan baik. Memang, nggak sepenuhnya salah tapi ternyata bukan itu poin utamanya. Algis bilang kalau kami berdua perlu membiasakan diri. Ketika dia mengetahui soal kesulitanku memahami perasaanku sendiri, di saat itulah Algis mengatakan kalau perlunya kami menjalani hubungan secara perlahan-lahan bukan hanya untuk belajar membangun dan mengenal satu sama lain, tapi juga agar bisa memahami dan menaruh sedikit demi sedikit kepercayaan pada hubungan yang sedang kami jalani saat ini. Tapi, kadang aku suka lupa dengan hal-hal yang terlewatkan—kalau aku dan Algis tidak akan pernah bisa mempermudah prosesnya. Bukan sesuatu yang mengejutkan, kan? Ada saatnya bukan poin penting seperti kepercayaan yang harusnya kami optimalkan, tapi mengenai perbedaan-perbedaan lain yang berhasil menyadarkan kami kalau saat ini semuanya akan berjalan berbeda, entah sulit atau jauh lebih sulit dari yang sebelumnya.
Seperti yang terjadi pada kami berdua beberapa hari ini. Astaga, mengingatnya kembali saja sudah membuatku pusing duluan.
"Apa Bu Najmi mau mampir dulu?"
Masih menyandarkan kepala di samping kaca mobil, suara Bara menginterupsi lamunanku. "Ke mana?" tanyaku balik.
Bukannya menjawab, Bari yang duduk di kursi depan terlihat kebingungan, menatap ke arahku dan Hanif yang tengah menyetir secara bergantian. "Maksudnya—mungkin, Ibu mau mampir dulu sebelum ke bandara." Hanif buru-buru mengoreksi di balik kemudinya.
Ah, itu maksudnya? "Nggak usah deh." Kepalaku menggeleng sekali. "Bapak kalian berangkat jam berapa?" tanyaku lagi. Sebenarnya, aku hanya tahu soal rencana 'liburan' Algis ini beberapa minggu lalu—sebelum pertengkaran kami terjadi—dan saat itu dia memang tidak memberikan detail mengenai waktu keberangkatannya yang baru aku ketahui hari ini, tepatnya siang tadi saat mengobrol bersama Dewa di kantor.
"Jam 8 malam, Bu." Kali ini Bari menolehkan kepalanya ke arahku, kembali berbicara denganku. "Jadi, kita langsung ke bandara ya, Bu?" tanyanya, mencoba memastikan. Begitu melihatku menganggukkan kepalaa, Bari kembali mengadapkan tubuhnya ke depan.
Sepanjang perjalanan dari kantor Ruang Khusus ke bandara, aku memilih menghabiskan waktu membaca beberapa research dan artikel dan mengabaikan kemacetan yang berkali-kali membuat Hanif dan Bari kelabakan. Sesampainya di sana, aku tidak langsung turun dari mobil. Selain Hanif dan Bari yang tidak memperbolehkanku, aku juga tidak sebegitu nekatnya menerobos kerumuman wartawan yang tersebar di depan terminal 1 Juanda.
Hanif yang bertahan denganku di dalam mobil juga sesekali ikut memperhatikan ke arah kerumuman wartawan di luar sana. "Pak Arbitro kebetulan ada kunjungan ke Malang, Bu. Tapi, memang sebelumnya mampir ke Surabaya dulu." Kedatangan Pak Arbitro jelas menjawab kenapa para wartawan bisa berkumpul di bandara sekarang.
Tak lama, kulihat Bari berjalan kembali menuju mobil. Untungnya, aku sudah mempersiapkan diri menggunakan masker dan membereskan beberapa barang yang aku bawa sebelumnya karena begitu masuk ke dalam mobil, Bari mengatakan kalau kami harus segera masuk dan menemui Algis yang sudah menunggu di salah satu lounge di T2 Juanda sebelum makin banyak wartawan datang. Sepertinya kejadian terakhir kali di kunjungan tidak disengaja ke pastry milik Laras meninggalkan trauma dan kesan spesial bagi Bari. Pria itu benar-benar menjagaku dengan baik, ia bahkan memelototi beberapa orang yang datang bersamanya—sepertinya satu rekannya juga—saat meninggalkan banyak jarak dari sisiku. Aku sadar kalau beberapa orang bahkan wartawan sempat menaruh perhatian ke arahku dan empat orang pria bertubuh tegap yang berjalan di sekitaranku. Bukannya jauh lebih mudah kalau mereka meninggalkanku dan membiarkanku berjalan sendirian?
"Saya mau ke toilet sebentar." Sedikit menarik lengan Bari, aku menunjuk ke arah toilet di depan kami.
For now, touch-up is what I need to do the most! Sejak pagi sampai sore, aku memang tidak pergi kemana pun selain menetap di kantor Ruang Khusus seperti yang biasa aku lakukan—setidaknya sampai beberapa hari ke depan, saat kantor baruku sudah benar-benar siap ditempati—meskipun begitu rasanya tetap saja sedikit curang waktu tahu kalau aku harus menemui Algis dengan tampilan kurang proper seperti sekarang—Oh, can I just go back to my apartment? At least to have a quick shower, or I might change this mess of a blazer into something better, ugh! Aku menatap tampilanku sendiri di depan cermin toilet, apa yang bisa aku deskripsikan selain lusuh untuk menggambarkan kondisiku saat ini? Kukeluarkan pouch make up dari dalam tas dan mulai memulas tipis blush on di kedua pipiku dan lip gloss pada bibirku, setelahnya aku juga menyempatkan untuk menjepit bagian belakang rambut agar terlihat sedikit lebih rapi. Terakhir, aku melepas blazer dan melipat lengan kemeja sampai se siku sebelum akhirnya keluar dari toilet.
![](https://img.wattpad.com/cover/224234887-288-k409073.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CONNECTED (COMPLETED)
ChickLitconnected [ kuh-nek-tid ]: having a connection Alfian Djanuar Nandiardji is my first love. He is the only person I wish I could pass the future with. It used to be like that. Without knowing anything, I thought everything is fine. I will have my o...