[ Listen to Yerin Baek—lovelovelove while reading for better experience ]"Time flies so fast, right?"
Naswa akhirnya buka suara sesaat setelah cuplikan video terakhir selesai diputar. "Ini pertama kalinya saya lihat, sih."
"Itu kapan videonya diambil, ya?" Salah satu staf mengangkat tangannya ke udara selagi menggerakan jemarinya, memberikan jawaban tanpa bersuara. "Ah, udah lama juga ternyata. Ah, wait—sorry, sorry," gumamnya pelan. Naswa memutar posisi tubuhnya ke samping sambil menyeka matanya dengan cepat sebelum kembali menghadapkan tubuhnya ke posisi semula.
Ia tertawa canggung ketika salah satu staf mengangsurkan tissue dari balik salah satu kamera. "I promised myself I would not cry today, but—whoa, it's too hard." Setelah menerimanya, tangan Naswa sibuk menghapus air matanya yang kembali turun. Sejak awal pertanyaan diberikan, Naswa sudah tahu kalau dia tidak akan bisa memenuhi janjinya itu. Dan, benar saja. Pertahanannya runtuh saat plasma screen di hadapannya mulai memutar salah satu cuplikan video yang baru pertama kalinya bisa ia lihat.
"Hm-mm..." gumaman Naswa terdengar jelas. Dia sesekali menunjukkan senyumnya di saat air matanya dirasa akan turun kembali.
Satu gumaman lain terdengar dari bibirnya. "Ayah dan Mema, ya?"
***
"Ayah dan Mema?"
"Ayah dan Mema, ya?" Arga mengulang kembali pertanyaan yang baru saja dia baca. Ia terlihat terdiam untuk beberapa saat, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Yang paling diingat? Memorable moment? Banyak, sih, ya. Tapi, kalau disuruh memilih, mungkin saya bakal pilih saat pertama kali... Ayah marah?" jawabnya terdengar ragu. Sebenarnya ia tidak benar-benar bisa memilih salah satu karena semua yang sudah Arga lewati sampai saat ini tentu punya tempat masing-masing di hatinya.
Dia menganggukan kepala dengan tatapan lurus mengarah pada kamera. "Sebenarnya saya nggak benar-benar ingat kejadiannya karena saat itu saya masih umur 5 tahun. Mbak Kaia dan Mema yang menceritakan kembali ke saya," terangnya masih belum bisa melepaskan senyum yang tertahan di bibirnya.
Menuruti arahan untuk terus menatap kamera, Arga memulai kembali ceritanya. "Jadi, waktu itu pertama kalinya saya ikut kunjungan kerja bersama Ayah. Sebelumnya hanya Mbak Kaia dan Mbak Naswa saja yang bisa ikut menemani. Kebetulan juga, kami hanya pergi ber empat tanpa Mema, karena saat itu Dipta dan Catra masih kecil, nggak bisa diajak keluar maupun ditinggal. Katanya, saat itu jadi momen di mana pertama kalinya Ayah marah." Nada bicaranya terdengar geli dibarengi dengan gelengan kepala. Arga di buat mengingat kembali kejadian yang sempat membuat banyak orang—terlebih keluarga dekat mereka—terkejut karena mendapati Ayah yang dikenal sebagai sosok yang penyabar itu kehilangan kontrol emosinya hanya karena kelakuan Arga yang masih berumur 5 tahun saat itu.
"Sejak kecil saya itu bukan tipikal anak yang suka bikin masalah. Tahu, memang rada aneh kalau harus dengar pengakuan barusan dari mulut saya sendiri, 'kan, ya?" Ia menumpukkan salah satu kakinya, mencari posisi duduk yang tepat sebelum bercerita lebih panjang lagi. "Sebelum berangkat ke Semarang, saya memang sudah tantrum. Awalnya, Mema sudah nggak yakin untuk membiarkan saya ikut dengan alasan kalau saya bakal rewel nantinya, tapi Ayah bersikeras supaya saya tetap ikut. Dan, apa yang dikhawatirkan Mema benar-benar kejadian," ujarnya dengan tawa geli.
Arga belum benar-benar bisa menghentikkan tawanya saat ia memutuskan untuk melanjutkan ceritanya barusan. "Yang saya dengar ceritanya itu, wah—" Meski kedengarannya cukup serius, ditambah gelengan kepalanya—tentu saja bisa dibayangkan seburuk apa kejadiannya saat itu—tapi, senyum geli dan tawa kecil Arga masih terdengar di sela ucapannya. "—itu dari airport sampai ke kantor Gubernur, saya nggak berhenti nangis dan minta pulang. Itu belum seberapa ketika akhirnya kami sampai di kantor Gubernur. Kami datang ke sana itu dalam rangka kunjungan khusus untuk merayakan hari anak nasional. Jadi, ketika kami sampai, ada banyak anak-anak sekolah yang diundang datang. Sampai akhirnya saya disuruh menyalami beberapa anak-anak yang berbaris menunggu kedatangan Ayah, karena posisinya saya lagi nggak mood alias rewel, saya pukul tangan anak-anak itu. Nah, karena itulah Ayah marah besar."
KAMU SEDANG MEMBACA
CONNECTED (COMPLETED)
ChickLitconnected [ kuh-nek-tid ]: having a connection Alfian Djanuar Nandiardji is my first love. He is the only person I wish I could pass the future with. It used to be like that. Without knowing anything, I thought everything is fine. I will have my o...