CON-3

62.6K 7.1K 860
                                    

Takdir kami memang lucu—maksudku—milikku dan Fian.


"Will you marry me, Na?"

"Thanks, Na. I won't leave you. I love you, Na."

"Hi, sweetheart!"

"Rencananya memang aku mau balik setelah lulus tapi au mau cari pengalaman dulu di sini, terima kasih ya kamu sudah mau mengerti."

"Thanks for stand by my side, thanks for your supports, thanks for everything. I love you, Na."





And suddenly all of our conversation come flooding back. Semua pernyataan terima kasihnya, semua kata cintanya, tidak ada yang terlewatkan.

Setelah mengantar Papa dan memasakkan nya sup ayam, aku memutuskan untuk pulang ke apartemen bertepatan dengan sebuah pesan yang kuterima—bahwa ia menungguku di cafe lobby apartemenku.

Dengan Fian yang duduk di hadapanku—bertahun-tahun setelah aku yang tidak sengaja menemani Aline untuk bertemu Nolan yang saat itu masuk tim lacrosse. He looks fine.

He always fine, Na. With you or...

Without you.

"Aku harap kamu bisa datang, Na," ucapnya sambil menyodorkan satu undangan berwarna merah maroon ke hadapanku.



"Congratulation, sayang. Mimpi kamu jadi kaprogdi akhirnya terwujud."

"Give me a hug, please!! Seharian ini aku capek banget karena harus urus klien rewel!"


Lagi. Suara Fian beberapa tahun lalu kembali muncul. Seolah menamparku, mencoba menyadarkanku kalau pria di hadapanku saat ini bukan lagi pria yang sama dengan laki-laki yang berlabel sebagai tunanganku.

"Rencananya kami akan menikah setelah Ninda lulus kuliah."

Kami ya, Yan? Bukan lagi, kita?

Aku kembali menatap undangan pertunangan Fian dan Ninda. "Aku bakal datang kalau memang bisa, ya." Segera kuambil undangan itu dan kumasukkan ke dalam tas.

"Aku minta maaf ya, Na."

"Maaf?" Aku menautkan salah satu alisku. "Karena kamu nggak jadi menikahiku? Kamu bercanda 'kan, Yan?" Giliran Fian yang terlihat kebingungan. "Aku justru harus berterimakasih karena akhirnya kamu mau mengaku. Kalau nggak, bisa kamu bayangin bakal se-sinetron apa kehidupan kita nanti? Bakal sesakit apa saat tahu kebenarannya saat kita sudah menikah?" Napasku naik turun sementara kedua tanganku mengepal erat di atas paha. "I deserve someone better than you, Yan. Seseorang yang bukan hanya bisa memberi janji tapi juga menepati."

Fian kelihatan menundukkan kepalanya dalam, entah merasa tidak enak atau malu karena beberapa orang di dalam cafe mulai menaruh perhatian pada meja kami. "Thanks for everything. Aku naik ya, perlu istirahat."

Tidak menunggu respon Fian, aku segera menenteng kembali tas—berjalan menuju lift yang tengah terbuka. Segera kutekan tombol 11, begitu pintu lift tertutup. Mataku terpejam saat merasakan lift dengan perlahan naik, otakku masih terus bekerja—berusaha mengingat dan menyimpan.

CONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang