35. Sebuah gelang

19 2 0
                                    



"Sekarang?"

"Iya, mumpung waktunya pas dan mendukung."

Entah kenapa, namun jantungnya berdegup kencang di tambah perasaannya yang semakin gugup. Kedua matanya melihat ke kanan kiri--hanya memastikan, bahwa tidak akan ada orang yang melihatnya.

"Gelap. Gak bakalan ada yang liat." Austin tahu ketakutan apa yang di rasakan oleh si gadis.

Senja hanya diam, menatap wajah Austin dari lekat. Begitupun sebaliknya. Posisi duduk mereka saling menghadap, dan di sinari dengan cahaya dari handphone yang Austin pegang.

"Siap?"

Austin mengangguk seraya tersenyum. Si gadis menghela napasnya pelan, dan mulai memajukan wajahnya untuk lebih dekat dengan wajah Austin. Sementara cowok itu sudah menutup kedua matanya. Awalnya, arah ciumannya ingin ia arahkan pada bibir. Namun--

Cup

--bibirnya justru mencium tepat di pipi kanan Austin. Senja kembali menjauhkan wajahnya, dan kedua mata si cowok terbuka.

"Kok pipi sih?" Telapak tangan itu memegangi pipinya.

"Maunya di mana?"

"Bibir."

"Mana boleh."

"Boleh kok."

Cup

Secara tiba-tiba, Austin mencium bibir Senja dengan gerakan cepat. Sekilas, namun sangat terasa.

"Kok di cium?" Si gadis mengusap bibirnya sendiri, dengan kedua mata yang berkedip lambat. Jujur dirinya masih terkejut.

Austin terkekeh.

"Karena tadi lo cium gue. Jadi gue juga harus cium lo." Ucap Austin, dengan bibir yang menyeringai. Jahat sekali cowok ini.

"Kenapa di bibir?"

"Karna gue maunya di situ."

"Tapi itu gak boleh."

"Kenapa? Lo kan pacar gue." Ucap Austin menaikan sebelah alisnya.

"Pacar, kan? Bukan suami."

"Kita nikah aja kalo gitu."

***

"Sebel banget naik biang lala sendirian. Mana pake acara mati, lagi mesinnya. Gak enak banget di gantung di atas." Aurell tak hentinya menggerutu seorang diri.

"Makanya, kalo gak mau kaya tadi gak usah naik." Sahut Austin.

Namun Aurell masih terlihat kesal. Kedua tangannya di lipat di depan dada, dengan air wajah yang tertekuk--hilang sudah lesung pipi kebanggaannya.

"Ya udah, sekarang kamu temenin aku buat beli minuman! Aku haus." Ucap Aurell, menggandeng lengan Austin dengan sangat posesif.

"Bisa gak usah pegang-pegang?" Ucap Austin yang merasa tidak suka. Tangannya melepas pelukan dari sahabatnya itu.

"Emangnya kenapa? Salah?" Tanya Aurell, dengan nada marah.

"Gak enak di liat orang." Balas Austin--mulai merasa muak dengan sahabatnya sendiri.

"Ya udah. Sekarang kita beli minuman." Ucap Aurell lagi.

"Ya udah, sana jalan duluan." Ucap Austin, acuh tak acuh.

Aurell hanya mengerucutkan bibirnya dengan sebal, dan berjalan mendahului. Di susul oleh Austin dan Senja, yang saling menggenggam tangan di belakangnya.

Menunggu Senja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang