11.Pingsan

28 2 0
                                    

Menjagamu itu sudah menjadi tanggung jawabku sekarang, walaupun itu juga tidak yakin.


"MINUMAN INI BUAT AUSTIN." Tangan yang memberi itu kembali mengambilnya secara paksa sebelum tangan sang penerima memberikan pada orang lain. "Bukan buat lo." Sambungnya berdesis sesuai dengan bila matanya yang melihat sinis.


Rara tetap menatap Senja dengan tatapan tajam. "Lo kan udah gue peringatin, jangan deket-deket sama siapapun cowok yang gue suka. Malah nyari kesempatan terus." Cibirnya melipat kedua lengan dengan kasar.

"HEH MA LAMPIR."

Kedatangan Dania yang tiba-tiba dengan suara kencangnya membuat orang di sekitar sana menoleh menetapkan atensi.

"Lo, gak usah bentak-bentak temen gue, bisa?!" Sambungnya, setelah berhadapan langsung dengan Rara.

Adu mulut pun terjadi. Keributan tercipta di sana. Suasana jam istirahat membuat semua murid-murid menyaksikannya secara bersama-sama bak teater yang sedang terputar di lapangan.

Dalam keadaan siang yang panas. Teriknya matahari benar-benar membakar kulit juga membuat kepala seseorang berdenyut pusing. Senja menggerakkan lengannya tuk memegangi kepala, kedua matanya memejam perlahan dan kembali membuka matanya dengan gerakan pelan. Namun pandangan yang memburam sungguh mengganggunya.

"TEMEN LO TUH PEREBUT."

"LO GAK NGACA? JUSTRU LO SENDIRI YANG TERUS MEPET AUSTIN. LO YANG SELALU BERUSAHA BUAT CARI PERHATIAN DIA."

"ENAK BANGET LO NGOMONGIN GUE KAYA GITU."

"EMANG, KENAPA? KOK GAK SUKA?"

Samar-samar, Senja masih mampu mendengar suara keributan itu. Namun dalam detik berikutnya, kepalanya benar-benar berdenyut sakit terasa berputar.

BRUUKK

"SENJA."

Serentak, semua orang memanggilnya. Mulai mengerumuni gadis yang tergeletak pingsan tak sadarkan diri.

***

Sampai di uks, Austin langsung membaringkan gadis yang di gendongnya di atas brankar. Ia meminta dokter yang bertugas di uks untuk segera memeriksanya.

Dokter yang menangani langsung memakai stetoskop yang ada di lehernya--memeriksa detak jantung Senja.

"Gimana Dok, gak papa, kan?" Tanya Austin.

"Magh-nya kambuh. Sepertinya dia belum makan dan minum sama sekali. Dia juga sepertinya kecapean." Ucap Dokter itu menjelaskan. "Kalian tolong jaga dia sampai sadar dan kalau busa beri dia air minum yang hangat dan beri roti untuknya makan. Lalu berilah obat ini." Lanjutnya memberi arahan dengan menaruh obat diatas nakas. "Saya harus permisi." Pamitnya.

"Kayanya kecapean gara-gara di hukum." Dania menggumam pelan, masih setia memandangi teman sebangkunya yang terbaring.

"Dan." Austin memanggil.

"Hm?"

"Boleh minta tolong beliin roti di kantin?" Ucapnya meminta.

"Bolehlah, masa enggak. Gue beli dulu kalo gitu."

"Duitnya ada kan?"

"Tenang aja."

***

Kedua mata Austin tidak lepas dari gadis yang masih terbaring, kedua matanya tertutup seolah gadis itulah satu-satunya objek yang ada di hadapannya.

Menunggu Senja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang