Kemarahan memang selalu datang dengan sendirinya, namun masih selalu bisa untuk di tenangkan.
"Lo kenapa?"
Kepala Senja tertoleh ke samping. Kernyitan di dahinya sedikit memudar, namun kedua tanganya masih setia memegangi perut dan bagian pinggang.
"Perut sakit."
"Lo pulang sekarang aja kalo gitu." Dania berucap dengan sedikit berbisik--karna pelajaran sedang berlangsung.
Kepala si gadis menggeleng sebelum menjawab. "Nanggung. Bell sebentar lagi juga bunyi." Kembali menatap sang guru di depan.
"Yaudah kalo gitu."
Dania kembali memfokuskan pandangannya ikut ke depan, memperhatikan guru yang tengah menjelaskan pelajaran.
***
Dania berdiri dari duduknya. Murid-murid lain di kelasnya sudah membubarkan diri, keluar dari dalam kelas secara perlahan. Dirinya juga sudah siap untuk pulang dengan tas di punggungnya.
"Lo gak mau pulang?" Dania bertanya. Tangannya memegangi bahu dari teman sebangkunya dan mencoba memiringkan kepala, agar bisa melihat Senja yang menelungkupkan kepalanya di atas meja.
"Duluan aja. Nanti nyusul pulang."
"Lo yakin?"
"Mm."
"Yaudah." Dania diam sejenak di sana. Pandangannya melirik Austin yang masih berada di bangkunya. "Gue duluan yah." Lanjutnya, melepaskan tangannya yang bertumpu di bahu Senja dan berjalan keluar dari kelas.
Buku-buku pelajaran beserta pulpen dan sejenisnya, masih tergeletak di atas meja. Gadis yang tertunduk itu belum mengemasi tasnya.
Austin sudah menyampirkan tasnya di kedua bahu. Ia bangkit dari duduknya dan hendak berjalan keluar. Namun ketika melihat masih ada orang di kelas, niatnya ia urungkan. Ia lebih memilih menghampiri meja si gadis yang di mana kepalanya tergeletak di atas meja belajarnya.
"Lo kenapa?" Suaranya terdengar dengan memiringkan kepala. Namun si gadis yang di tanya hanya menggeleng tanpa memperlihatkan wajahnya.
"Sakit perut?" Si cowok bertanya kembali setelah menghela napas sebentar dan mata yang masih setia melihat gadis itu memegangi perutnya dengan kedua tangan.
"Hm."
Si cowok kembali menegakan kepalanya. Tangannya mulai mengambil buku-buku yang berada di atas meja lalu memasukannya ke dalam tas si gadis. Austin membereskan peralatan belajarnya Senja.
"Gue bantu berdiri."
Austin dengan gerakan cepatnya seketika langsung memegangi kedua bahu si gadis untuk berdiri. Lalu setelah kakinya kaki si gadis untuk di gunakan, kedua mata si cowok justru menemukan pemandangan yang berbeda. Gerakan untuk membantu si gadis berjalan terhenti. Ada noda merah yang membanjiri seisi belakang rok yang di gunakan.
"Ada darah."
"Hah?"
Kepala si gadis berputar untuk melihat tempat duduknya sendiri lalu berlatih pada belakang roknya.
"Pantes sakit perut." Si gadis menggumam. Kepalanya lalu tertoleh pada si cowok.
"Biar gue yang bersihin kursinya."
Alangkah cepat sekali gerakan si cowok yang langsung memahami keadaan sehingga dengan suka rela mau untuk membersihkan noda yang tertinggal di atas kursinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menunggu Senja (End)
Teen FictionSeorang gadis cantik, baik, pintar, yang bernama Senja. Dia adalah sosok gadis yang agak tertutup. Tidak terlalu dekat dengan orang baru yang ia kenal. Termasuk dengan Austin. Austin? Iya. Awalnya dia adalah murid baru, sekaligus anak dari pemilik...