39. Rooftop

15 2 0
                                    



Senja terus melangkah, menatap Austin yang tengah duduk di atas motornya. Jantungnya berdebar semakin kencang, namun dirinya mencoba berusaha bersikap tenang--menetralkan jantungnya, agar tidak semakin menyiksa dirinya sendiri.

"Maaf udah nunggu lama." Si gadis berkata demikian ketika sudah berada di dekat orangnya langsung. Hembusan napasnya di atur sedemikian rupa agar tidak terlihat tersendat.

"Nggak kok. Kalo pun gue harus nunggu lo bertahun-tahun, gue siap." Jawaban si cowok sangat terkesan sedang membual seperti biasa.

Senyum miring sedikit tercetak jelas pada wajah si gadis. "Berarti itu tandanya bakalan ada yang harus pergi." Ucapnya begitu saja, membuat si cowok jelas terkejut--mengerutkan keningnya karena tidak terlalu paham.

"Maksudnya?"

"Kamu bilang barusan bakalan siap buat nunggu aku sampe bertahun-tahun?"

Austin mengangguk.

Si gadis kembali melanjutkan kalimatnya. "Itu artinya, aku harus pergi dulu supaya bisa buktiin ucapan kamu yang bakal nunggu aku barusan." Sebelah alisnya terangkat untuk membenarkan ucapannya.

Austin tertegun dengan penjelasan kalimat si gadis. Kepalanya hanya sedikit mengangguk tanpa terlalu mengerti akan maksudnya.

***


Senja baru saja menurunkan kakinya di parkiran sekolah. Didinya sudah langsung di sambut oleh kedatangan Dania dan pacarnya, Vino.

"Dateng juga akhirnya. Gue pikir lo gak bakal datang sekolah. Abisnya kita udah nungguin dari tadi." Ucap Dania dengan ekspresi wajah yang memutar kedua bola matanya karena mengeluh.


"Santai aja kali. Sekolah kan lagi bebas, jadi kenapa harus berangkat pagi-pagi?" Austin menyahut dengan nada tanya. Ikut turun dari atas motornya sendiri yang sudah terdiam rapi bersama barisan kendaraan lain di parkiran.

"Ayo masuk."

Dania meraih lengan teman sebangkunya begitu saja, membuat mereka berdua berjalan dengan bergandengan tangan. Sementara kedua remaja laki-laki di sana, masih berdiri di parkiran. Hanya menggelengkan kepala berulang kali melihat kedua gadis yang berjalan belum jauh di depan.

"Aneh gak sih?" Vino memulai bersuara, menolehkan kepalanya ke samping tepat di mana Austin berdiri dengan sebelah tangan yang memainkan kunci motornya.

"Banget." Austin jelas mengerti ke arah mana Vino mengajak perbincangan mereka.

"Kenapa ya, kalo cewek gandengan atau pun pegangan tangan rasanya wajar-wajar aja. Cocok aja gitu manis kelihatannya, akur. Tapi giliran cowok yang kaya gitu, rasanya bakalan aneh gak sih? Gak pantes banget."

Vino masih menatap kepergian dua gadis yang sudah hampir meninggalkan mereka berdua.

Austin pun merasa demikian pula. Tubuhnya masih berdiam di samping Vino, menatap pada arah yang sama.

"Kita coba yuk?"

Jelas Austin menoleh cepat pada orang yang baru saja mengajaknya. "Coba apaan?" Tanyanya dengan pandangan mata yang was-was pada tubuh lawan bicaranya.

Menunggu Senja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang