37. Boleh gue cemburu?

18 2 0
                                    


Semua penumpang di dalam bus memekik dengan sangat amat terkejut, termasuk gadis remaja yang duduk di kursi paling depan dekat dengan pintu masuk.

"Saya turun di sini pak."

Dengan cepat, si gadis berjalan menghampiri sopir busnya untuk memberikan ongkos. Lalu, kedua kakinya segera menuruni bus tersebut dengan langkah cepat.

Austin kembali meminggirkan motornya kala melihat gadis yang ingin ia temui sudah keluar dari dalam bus. Wajahnya terlihat tidak begitu selera dengan kedua tangan yang saling terlipat di depan dadanya.

Senja turun tidak untuk menghampiri Austin. Gadis itu memilih berjalan melewatinya dengan langkah yang cepat dan terburu-buru. Tatapan matanya lurus pada arah jalan di depan.

"LEPAS!"

Namun cekalan tangan Austin yang berhasil mengejar langkah nya mampu membuat si gadis berbalik dan membentak.

"Dengerin gue dulu." Ucap Austin dengan memaksa si gadis agar mau menatap kedua matanya. Pergelangan tangannya masih ia cengkram dengan erat.

"Lepas!"

Senja masih berusaha melepaskan tangannya. Matanya menyorot tajam, dan penuh kekesalan yang sudah memuncak.

"Tunggu. Lo harus tenang dulu, oke?" Ucap Austin berujar demikian, dengan beralih memegang kedua bahu si gadis agar mau diam menurutinya. "Lo harus dengerin gue dulu." Pintanya berusaha menatap kedua mata yang terus saja menghindar.

"Gue minta maaf--"

"Aku harus dengerin apa lagi, hah?" Si gadis memotong ucapan dengan nada yang cukup tinggi. Kedua matanya menatap penuh luka. "Aku udah gak bisa lagi pegang semua omongan kamu. Semua yang kamu bilang akhir-akhir ini, cuma bullshit. Gak ada yang sesuai."

Austin menggeleng.

"Kamu sendiri yang udah janji buat jaga jarak dari Aurell kan. Tapi tadi apa? Aku malah liat kalian pelukan di parkiran sekolah. Gak malu apa?!" Kepalanya menggeleng karena tidak habis pikir. Sebelah tangannya terangkat membenarkan helaian rambut yang menutupi saat ia berbicara dengan penuh emosi.

"Dengerin gue dulu." Austin masih berusaha berbicara dengan nada yang tenang, semakin mencengkram erat kedua bahu si gadis agar tidak terlalu banyak bergerak.

"Apa itu, cara persahabatan kalian??" Si gadis kembali melontarkan tanya. Telinganya sudah tidak mau mendengar alasan apapun lagi.

Sudah cukup pikirnya.

"Sikap persahabatan kalian itu terlalu berlebihan. Kalian itu udah melebihi batas kata sahabat itu sendiri. Itu udh gak wajar. Keterlaluan tahu gak." Tangannya menyibak rambut dengan kasar.

"Please Lo harus dengerin gue dulu."

Si gadis menggeleng kuat. Kakinya sudah ingin bergerak untuk pergi dari sana.

"Dengerin apa hah??" Terselip nada yang sudah lelah pada suaranya. Tangannya berusaha menurunkan cengkraman si cowok namun tetap kembali pada bahunya.

"Aurell yang meluk gue. Dia yang deketin gue duluan. Gue bahkan gak peluk dia sama sekali. Justru gue berusaha buat lepas pelukannya tadi." Ucap Austin, berusaha untuk menjelaskan dan membela dirinya yang merasa tidak bersalah.

"Gak bisa ngehindar emang?"

"Gue udah berusaha menghindar Senja, asli. Beberapa kali udah gue coba buat jauhin dia tapi dia terus deketin gue. Gue juga gak tau, kenapa dia jadi berubah manja kaya gitu?" Austin frustasi jika harus tetap berdebat di tepian jalan seperti ini.

Senja tersenyum kecut. Kepalanya menggeleng pelan, dengan tatapan yang tidak bisa ia jelaskan. Tubuhnya serasa lemas dan ingin tumbang saat itu juga.

"Udah yah. Asli aku cape banget."

Austin menggeleng.

"Aku udah coba banget nahan semuanya, dan sekarang aku udah mau terus terang aja sama kamu." Matanya mau menatap tepat ada manik milik Austin yang sudah menatapnya sejak tadi.

Austin masih di sana, menunggu kalimat selanjutnya yang akan Senja katakan padanya dengan sorotan mata si gadis yang sudah mulai memerah.

"Boleh gak aku gak suka, sama Aurell?"

Hening.

"Boleh, aku cemburu sama dia?"

Hening.

"Asli ya aku gak suka banget kalo Aurell terus-terusan deketin kamu dari awal dia datang tiba-tiba. Aku gak suka sama dia. Jujur aku gak suka sama kehadirannya."

Kedua tangan Austin tergerak, untuk menghapus lembut kedua pipi Senja yang mulai basah karena air matanya sendiri.

"Jangan nangis." Austin berkata demikian agar perempuan yang bersamanya tidak menjadi seseorang yang lemah.

Senja hanya menggeleng. Kedua matanya masih menatap Austin dengan sorot tatapan yang terluka.

"Jujur aku gak mau ada Aurell." Senja melepaskan usapan kecil dari tangan Austin pada kedua sisi wajahnya.

"Aku takut kalo Aurell bakal rebut kamu dari aku. Aku gak suka sama sikap Aurell yang terlalu berlebihan selama ini sama kamu. Aku gak suka Aurell yang selalu ganggu hubungan kita." Ucapnya, dengan kedua mata yang meneteskan air mata.

Austin kembali mengusap lembut kedua sisi wajah Senja--berusaha menghapus jejak air matanya yang terus-menerus turun.

"Jangan nangis ... "

"Aku gak suka ada Aurell. Aku bener-bener gak suka sama dia. Aku ngerasa terganggu sama kehadiran dia di antara kita sekarang. Mungkin kalo dari awal kita gak kenal, aku sama kamu gak ada hubungan apapun, aku mungkin gak akan peduli kalo dia ada atau enggak--" napasnya terasa habis.

Senja masih mengucapkan kalimatnya dengan lirih. Sorot matanya masih menatap lekat, pada cowok di sana.

Austin mengangguk perlahan. Tubuhnya berangsur mulai mendekat, dan memeluknya.

"Aku takut Aurell ambil kamu."  Si gadis masih berbicara lirih dalam dekapannya. Menahan air matanya sendiri agar tidak terus merebak.

"Udah yah. Jangan nangis ... Gue minta maaf banget udah sering nyakitin perasaan lo." Ucap Austin, mengusap punggung dan rambut gadis itu secara bergantian. "Aurell gak bakal pisahin kita kok. Dia gak bakal bisa rebut gue dari lo. Jangan khawatir yah. Gue bener-bener minta maaf banget sama lo. Gue udah sering bikin lo sakit."

Ntah ada orang yang lewat atau tidak. Tidak tahu sebanyak apa pengendara di jalan sana. Keduanya seolah tidak peduli kecuali perasaan masing-masing yang tidak mau untuk berakhir. Mereka hanya takut kehilangan satu sama lain, tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya.

"Jujur gue gak mau kita udahan gitu aja cuma karena kesalah pahaman aja." Austin meletakkan dagunya di atas kepala si gadis. "Mungkin lo bener, gue yang terlalu susah buat jaga batasan sama Aurell. Gue kira persahabatan gue sama dia emang normal-normal aja. Kurangnya gue emang gak sadar kalo ternyata gue udah berlebihan sama dia, sama lo juga."

Senja melepaskan pelukan mereka. Kepalanya kembali terangkat agar bisa menatap dengan tepat.

"Untuk ukuran sebuah hubungan, gue mungkin masih labil. Gue masih belum bisa jaga perasaan lo ataupun Aurell yang jadi sahabat gue sendiri. Gue cuma berusaha buat jaga perasaan kalian berdua secara bersamaan, tapi gue malah sebaliknya dan malah bikin hubungan antara lo dan Aurell semakin gak beraturan."

Senja tidak bisa untuk menarik sudut bibirnya barang satu centi pun.

"Mungkin, harusnya perempuan dan laki-laki gak pernah punya peran sebagai sahabat. Karena salah satunya bakal ngelibatin perasaan yang lebih."

***

Terbit tgl 2 Februari


Menunggu Senja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang