36. Baru tau rasa tuh

22 2 0
                                    



Austin baru saja melangkahkan kakinya memasuki rumah, setelah mengantarkan Senja pulang. Sebuah panggilan masuk di handphonenya, yang berada di saku jaket.

"Hallo."

"Kamu itu di mana sih? Aku udah kesana-kesini nyari kamu, kok gak ketemu-ketemu? Semua sudut pasar malem udah aku jelajahin nyari kamu, tapi tetep gak ada."

Terdengar sekali nada bicara di sebrang sana begitu cerewet sekali--sangat marah.

"Mau nyari aku di sana sampe negara ini di jelajah lagi sama Belanda pun, aku gak bakal ketemu." Ucap Austin membalasnya.

"Maksudnya?"

"Aku udah di rumah."

***

Motor yang Austin dan Senja tumpangi sudah sampai di parkiran sekolah. Gadis berseragam SMA Mentari itu, langsung turun dan melepaskan helm yang menempel di kepalanya. Menyerahkannya pada Austin.

Keduanya mulai melangkahkan kaki mereka, berjalan menuju kelas dengan tangan yang saling berpegangan seperti biasanya.

"Wiiisssh."

Vino muncul tiba-tiba di depan mereka. Lirikan matanya menatap genggaman tangan yang terlihat nya dengan bibir yang menahan senyum.

"Pegangan tangan mulu bang, kaya mau nyebrang." Ucapnya menggoda mereka berdua.

"Dari pada lo. Udah gak pegangan tangan, jalan sendirian, hati-hati nanti di culik." Ucap Austin membalasnya--dengan tangan yang sudah terlepas dari tautan lengan Senja.

"Gak bakalan ada yang berani nyulik gue." Sahut Vino, sangat percaya diri.

"Ada." Senja menyahut.

"Siapa?"

"Penunggu sekolah ini. Mau?"

Vino justru tertawa terpingkal-pingkal di buatnya. "Penunggu sekolah ini pun, bakal takut kalo nyulik gue. Mereka gak bakal berani." Ucapnya, dengan mulai berjalan mundur.

"Ya gak pada berani gimana? Orang lo juga keturunan mereka." Ucap Austin dengan tersenyum mengejek, kedua kakinya ikut melangkah kembali bersama Senja.

"Maksudnya gue anak setan gitu?" Tanya Vino, sedikit sarkasme dengan kedua tangan yang memegang masing-masing sisi tali ranselnya.

"Bukan gue yah yang ngomong. Lo sendiri." Balas Austin, yang di akhiri dengan tawanya.

"Eh tunggu!" Vino memberhentikan langkahnya, dan membuat langkah sepasang remaja di sana pun ikut terhenti.

"Apa?"

"Kalian pake gelang samaan yah?" Tanyanya, menunjuk pada tangan Austin dan Senja secara bergantian. "Beli di mana? bagus tuh gelangnya." Ucapnya, nampak tertarik.

"Iya dong samaan, biar kompak." Jawab Austin." Kalo lo mau, ini belinya di pasar malem deket sekolah." Ia merekomendasikan.

"Iya deh, nanti malem gue ajak Dania ke pasar malem buat beli gelang couple kaya gitu." Ucapnya, kembali berjalan mundur secara perlahan.

"Lo jalan mundur-mundur gitu. Matanya di pake. Awas nabrak." Ucap Austin, mencoba memperingatinya.

"Sembarangan kalo ngomong. Dari tadi gue jalan mundur kaya gini, itu biar bisa liat muka kalian berdua. Biar enak ngobrolnya, muka sama muka."

"Hati-hati, nanti nabrak orang baru tau rasa loh " Ucap Senja--ikut memperingatinya.

"Lo tenang aja Senja. Dari dulu, gue udah tau rasa-yah. Rasa asam, manis, gurih, pahit, bahkan sampe rasa manis pahitnya dunia pun, gue udah ngerasain." Ucapnya, dengan ekspresi yang menyebalkan.

Menunggu Senja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang