Twenty-Five √Stage

231 16 2
                                    

Jangan salahkan rasa yang ada sebab aku hanya manusia biasa tercipta dengan adanya perasaan.

⛅⛅⛅

Semilir angin yang menerpa terasa begitu segar ditambah sorotan lampu-lampu kecil berwarna hampir setiap jalan dilapisi red carpet pada jalan utama masuk. Begitu besarnya bangunan putih bersih berpadu dengan kain-kain berwarna emas bergantungan rapi sebagai hiasan.

Ratusan kursi siswa-siswi terlihat berjejer rapi menghadap ke panggung, di depannya terletak ratusan meja bundar dikelilingi enam kursi yang telah terhiasi. Dan kursi paling depan terdapat sofa beserta meja keci khusus tamu terhormat pada acara tersebut.

Sebentar lagi acara tahunan diselenggarakan oleh pihak sekolah akan mulai. Peserta yang akan tampil kini sudah bersiap dibelakang aula begitupun murid lain memilih tempat duduk ternyaman menonton berjam-jam kedepan.

"Belin sangat gugup." Gadis itu meremas jari-jari dan terlihat keringat dingin membasahi pelipis. Perempuan nan sangat cantik tepat dihadapannya tersenyum.

"Haii, lo nggak boleh gugup. Anggap aja ini adalah pentas depan kelas bukan di aula."

"Aula ini besar begitupun murid-murid yang ada banyak."

"Itu wajar karena ini adalah birtday sekolah makanya semua penghuni serta keluarganya datang menghadiri." Retha memegang kedua pundak Belin, "bahkan Kak Lindo juga datang ke sini loh!"

"Benarkah?" Perempuan dihadapannya mengangguk. "Kakak nggak pernah bilang akan datang ke sini."

"Kejutan dong!" Tangannya terlentang  dan bersorak begitu antusias.

Selamat datang diacara Birthday Stailyn High School yang ke 27 tahun, ucap seseorang depan panggung.

Rayan tersenyum penuh saat berhadapan dengan sang pujaan hati. Belin. Pakaian mereka sangat kontraks dengan lagu yang akan dibawakan. Belin menggunakan dres selutut warna hitam tanpa lengan. Sedangkan Rayan sendiri mengenakan pakaian kameja putih.

"Be-belin gugup, Kak," ucap gadis itu sembari meremas baju dari samping.

"Ada gue lo nggak usah gugup," balas Rayan sekilas sembari memegang pergelangan tangan lalu menariknya ke luar dari aula melewati pintu belakang.

Belin yang ditarik hanya pasrah mengikut begitu saja dengan pemuda ini penuh rasa kebingunan tanpa adanya pertanyaan. Mereka menaiki lift sekolah, Rayan menekan tombol di dalam tanpa melirik Belin sedikitpun.

Gadis itu tersadar ketika pintu lift terbuka menunjukkan lantai empat. Kemungkinan besar Rayan akan membawanya ke tempat rahasia, rooftop.  Mengherankan kenapa harus ke sini sedangkan acara di bawah baru saja dimulai.

Tangannya masih digenggam oleh pemuda pujaan siswi sekolahan enggan untuk melapasnya sampai ke tempat tujuan. Belin menengok ke arah samping tepat kaca transparan. Ia melihat sekitaran aula begitu ramai dan penuh lampu kelap-kelip.

Belin tiba-tiba tersentak ketika ditarik masuk ke dalam rooftop, hening tanpa adanya gangguan bahkan suara kicauan jangkrit biasanya terdengar dimalam hari tak terdengar sedikitpun.

"Kenapa kita ke sini, Kak?" Akhirnya perempuan itu angkat bicara setelah masuk.

Rayan melepas genggamannya lalu berjalan tiga langkah ke depan, mengambil handphone dari saku celana. Terlihat ia sedang menelpon seseorang dari seberang sana.

"Kita mau latihan, ya?" tanya Belin kembali setelah Rayan selesai berbicara di telepon.

"Nggak, sudah cukup latihan kita beberapa hari ini." Kepala berbalik sekilas menatap Belin. Kakinya kembali melangkah hingga pembatas, udara lewat dihirupnya pelan-pelan. Setelah beberapa detik napas itu berulang barulah ia membuka mata menatap langit sedang bertabur bntang berkelap-kelip.

BELINDA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang