Hiruk pikuk suara burung menumpang di ranting pohon berbunyi. Sedikit lagi matahari mulai terbenam. Angin sepoi-sepoi menyerngat kulit putih bersih seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
"Ma ... mama kenapa tinggalin Belin?" ujarnya sendiri mengingat 3 hari yang lalu kepergian sang mama.
Jadilah anak kuat dan tegar, Nak. Apapun yang terjadi jangan pernah menangis apalagi patah semangat. Jangan sampai senyummu memudar. Jangan juga kau tangisi mama. Jangan bikin mama sedih dengan sedihmu. Buat mama bangga dengan keceriaan melekat pada dirimu, Sayang.
Gadis bermata delima itu memaksakan sebuah senyum. Pandangan kosong ke luar jendela. Menatap anak-anak seusianya tengah bermain di taman bersama kedua orang tuanya.
Kini gadis kecil itu tak akan merasakan bahagia seperti dulu, berkumpul dan bermain bersama orang tersayang di taman. Seperti anak yang dia lihat sekarang.
Tiba-tiba saja terdengar keributan di luar kamar. Anak itu berlari, rambut ikal bergoyangan seiring langkahnya.
"Papa jangan pergi! Lindo mohon, Pa! Kasihan Belin masih kecil. Kita baru aja kehilangan mama dan Papa tinggalin kami juga?" ucap seorang remaja dengan air mata berlinang.
"JANGAN HALANGIN PAPA! PAPA HARUS PERGI SEKARANG JUGA!" Pria itu mengambil tasnya kasar lalu berusaha lepas dari pelukan anak sulungnya.
Pelukan anaknya semakin erat dia sergah kasar. Alhasil Lindo terhuyung ke belakang menumpuk ke dinding. Ayahnya sangat sadis.
Setelah lepas, pria itu bergegas keluar dari rumah. Beberapa tetangga tengah menonton bergedik ngeri. Pria itu hanya acuh, melanjutkan langkahnya dan naik ke taksi yang sudah di pesan.
"PAPA!" teriaknya lantang tanpa menghiraukan tetangganya tengah bergosip.
Anak perempuan berusia 13 tahun terkesiap melihat kejadian baru saja terjadi di depan matanya. Kini sang papa juga pergi begitu saja tanpa alasan.
Dia tersenyum. Berusaha mengukir senyum manis. Meski hatinya sangat bersedih. Ia tak boleh menangis bagaimanapun kondisi seperti kata mama sebelum napas terakhirnya.
"Kakak ...," panggilnya lirih, memeluk sang Kakak erat. Genangan air mata yang telah menumpuk kini turun setetes, mengusapnya gusar lalu tersenyum lagi.
"Kak Lindo jangan nangis, masih ada Belin selalu nemani Kakak. Biarkan papa pergi ...." Belin kecil berucap layaknya anak dewasa. Ia sedikit mendongak menatap wajah tampan Kakaknya.
Mengusap perlahan wajah Lindo dengan tangan lembutnya.
Dalam kondisi begini warga yang sempat menonton tidak ada yang peduli satupun ke mereka berdua. Bahkan enggan menginjak kaki ke pakarangan rumah sederhana itu.
Satu per satu mulai pergi meninggalkan dua anak tengah berduka membutuhkan pelukan hangat serta support bertahan hidup.
Apa salah anak ini? Padahal sewaktu ibunya masih ada, almarhum selalu baik ke mereka tanpa meminta belas kasih sedikitpun.
Belin dan Lindo meratapi semuanya. Dunia memang tidak adil. Anak seusianya menerima duka berturut-turut. Alam semesta terlalu kejam untuk kedua anak ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELINDA (END)
Teen FictionLelah. Satu kata yang menggambarkan diri seorang Belinda, gadis remaja yang harus melalui pahitnya kehidupan. Membungkam air mata yang harus tergantikan oleh senyum merekah untuk terlihat kuat menghadapi keadaan. Banyak yang membenci, menghina, men...