Hati menjerit keras, jiwa sedang meronta, batin terluka. Namun, senyum akan selalu terukir di wajahku.
~ Belinda Ardella ~
⛅ ⛅ ⛅Manik mata delima mulai terbuka pelan, beberapa kali mengerjap sampai kesadarannya mulai normal. Menghirup oksigen pelan dan membuang secara teratur. Semua badannya mulai terasa kaku, kepala yang tadi terbentur mulai terasa semakin sakit.
1 menit kemudian, kesadarannya mulai normal, mata gadis itu membulat melihat atap kamar yang berwarna putih emas.
Tersadar akan dirinya bukan di rumah. ia cepat bangkit dan bangun dari tidur. Tangannya memegang kening yang memar.
"Belin di mana?" Yah, tadi yang terbangun itu Belin.
Kakinya sudah menyentuh lantai berbulu, ralat, lantai yang dilapisi tikar impor.
Manik cokelat Belin keliling mencari jam di ruangan ini. Pasalnya ia tidak menggunakan jam tangan, boro-boro menggunakan punya jam tanganpun tidak.
Setelah celingak-celinguk sampai bungkuk mencari di bawah kasur. Akhirnya gadis lugu menemukan yang dia cari. Sebuah jam besar bergantung indah di atas pintu.
Raut wajah Belin berubah, muka yang sudah pucat semakin pucat sesaat melihat jam yang sudah menunjukkan angka enam, pergantiaan senja ke malam.
"Kak Lindo." Satu nama berhasil keluar dari mulut. Napas mulai memburu, kepala yang sakit tidak ia hiraukan, fokusnya hanya mencari sepatu, ransel dan tas yang kepala sekolah tadi berikan.
"Ah, ini dia," ucap Belin gembira tapi pelan.
Ia menemukan barang-barangnya samping ranjang sebelah timur.Tanpa membuang waktu Belin mengenakan ransel kecilnya, memegang kedua sepatu serta tas kotak-kotak louis vuitton.
Tiba-tiba saja saat ingin membuka pintu kepalanya kembali pening begitu hebat. Belin menggeleng-geleng, ia harus bisa melawan rasa pening kepalanya. Berusaha menyeret kaki menuju pintu.
Ceklek
Pintu terbuka. Bukan Belin melainkan sosok manusia tampan membuka pintu terlebih dulu.
"Hei, lo ngapain begini," ucap Rayan shock. Bagaimana tidak, melihat muka Belin pucat seperti mayat serta keadaannya masih oleng.
"Ka-Ka Rayan? Kok bisa di sini, Kak?" tanya Belin kaget. "Auuss," ringis Belin pelan yang masih kedengaran di telinga Rayan.
"Ini rumah gue." Rayan menarik Belin untuk kembali ke kasur. "Lo harus istirahat, lo masih sakit. Sebentar lagi dokter datang buat periksa lo."
"Nggak mau, Belin harus pulang, Kak!"
"Kenapa lo terburu-buru? Lo masih sakit."
"Enggak, Belin udah mendingan, Belin harus pulang cepat, nanti Kak Lindo nyariin Belin." Belin mulai melangkahkan kaki menuju pintu, tangan kanan setia memegang kening dan tangan kirinya setia menenteng tas.
"Woii tunggu dulu, dasar nih anak ngelawan mulu." Rayan membuang napas kasar. Ia menepuk kening sendiri, jengkel dengan sikap egois gadis satu ini.
Huft ... kok rasanya gue cemas sama dia, sih! Sikap gue aneh, ahh. Padahal gue nggak pernah bersikap khawatir sama cewek kek gini! Apa jangan-jangan gue ... su-suka sama cewek itu? Rayan menggeleng-geleng cepat.
"Oh Rayan, masa iya lo suka sama cewek itu, padahal lo baru ketemu pagi tadi," elak Rayan lagi.
"Hampir lupa, anak itu ke mana?" Dia cepat keluar kamar mencari Belin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELINDA (END)
Teen FictionLelah. Satu kata yang menggambarkan diri seorang Belinda, gadis remaja yang harus melalui pahitnya kehidupan. Membungkam air mata yang harus tergantikan oleh senyum merekah untuk terlihat kuat menghadapi keadaan. Banyak yang membenci, menghina, men...