Eighteen √Secrets Revealed

379 34 10
                                    

Aku sakit namun tak ingin melihatmu pilu. Biar aku yang rasakan tanpa bercerita. Cukup kamu melihat senyum yang selalu terlihat.

~ Belinda Ardella ~

⛅⛅⛅

Setelah Rayan mengecek pemilik suara ketukan pintu. Yang terlihat adalah sosok pria jangkun bertubuh tinggi dengan wajah yang sangat pias. Terlihat keringat dingin membasahi pelipis. Napas terengah memburu keluar masuk dari hidung.

"Adek aku mana?" Tiga kata itu langsung terlontar begitu terdengar panik.

Rayan dengan gaya coolnya hanya memberi ruang agar pemuda ini bisa melihat seorang gadis yang terbaring lemah diatas kasur.

Luruh sudah ketahanan pemuda itu ketika melihat satu-satu kebahagiannya selama ini terbaring lemah. Orang yang dilihat hanya menyengir kuda, dia tak mau sang kakak bersedih melihatnya.

Tak heran, Belinda Ardella adalah kebahagian hidup Lindo. Apa jadinya apabila Belin tak hadir? Mungkin dari kecil Rayan berusaha mengakhiri hidup setelah ditinggal kedua orang tuanya.

"Kakak," panggilnya sedikit keras.

"Kenapa kamu bisa begini, Dek?" tanya Belindo Ardefon - Kakak Belin to the poin.

"I-itu ... ta-tadi?" Seketika Belin gugup, entah bagaimana menjelasakannya, ia juga tidak mau Kakak nya tahu kejadian tadi siang di lorong kecil itu.

"Ada adek kelas yang--"

"Oh itu ... tadi pas Belin keluar terus nggak liat jalan jadinya kesandung deh, Kak. Punggung ini?" Belin menghela napas setelah usai memotong kalimat Rayan barusan, "waktu Belin berdiri kan nggak sengaja nginjak kulit pisang di trotoar. Alhasil Belin jatuh deh terus numpuk ke tembok Kak."

Saat berbicara mata Belin tak melihat mata Lindo melainkan melirik ke arah lain.

"Terus kenapa bisa separah ini, Dek?" tanya Lindo dengan suara yang sangat prihatin. Belin masih berusaha mencari alasan.

"Kemarin malam keluar dari toilet, kaki Belin licin. Belin jatuh numpuk ke belakang. Bersyukur Belin nggak jatuh dalam toilet."

"Astagfirullah Belin! Kenapa nggak bilang ke Kakak? Kakak bisa bawa Belin periksa, dan bisa izinin dulu biar nggak ke sekolah."

Lindo terlihat kesal pada adiknya. Pasalnya Lindo selalu percaya Belin tidak akan berbohong kedirinya. Namun sekarang berbeda, entah kenapa Lindo merasa curiga pada Belin.

Maafin Belin harus bohong lagi dan lagi Kak, ucapnya dalam hati. Ia melengkungkan bibir seakan baik-baik saja.

Disisi lain, Rayan sedari tadi hanya menyimak pembicaraan kakak beradik ini. Dari sini Rayan melihat sebuah kesedihan yang tertutup. Belin sedih telah berbohong kepada sang Kakak.

Saat Lindo mengusap kening Belin. Belin melihat kearah Rayan. Memberi kode melalui mata agar tidak menceritakan kejadian sebenarnya.

Mengerti dari maksud Belin, Rayan hanya menggeleng. Ia tersenyum sebentar saja lalu mengangguk.

"Belin mau pulang Kak ... nggak mau di sini, serem." Gadis itu memasang mimik wajah yang sangat menggemaskan. Hal itu dilakukan agar sang Kakak mengiyakannya untuk pulang.

"Belum bisa," sahut Rayan dingin.

"Iya, Dek, Belin kan masih sakit, tinggal di sini dulu biar cepat sembuh. Kalau udah sembuh Belin bisa pulang."

"Siapa bilang Belin sakit? Belin sehat, Kak, punggung ini aja yang sakit loh, Kak. Nih ... liat Belin masih bisa gerakin tangan ama cengar-cengir." Benar kata Belin, jika dilihat anak itu seakan tidak sakit. Ia menahan nyeri yang ada dan selalu berusaha seceria mungkin di hadapan sang Kakak.

BELINDA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang