Bagaimana bisa membendung segala kerinduan tanpa kehadirannya lagi.
⛅⛅⛅
"Retha," panggil Belin ke sahabatnya yang baru saja dari dapur membawa sepiring nasi dan air putih.
"Iya, Bel, ada apa?" tanya Retha meletakkan makanan untuk Belin ke meja dan duduk disampingnya. Namun, gadis itu masih enggan menatapnya dan memilih melihat ke arah lain.
"Kak Lindo lagi apa ya di sana?"
Deg
Belin membuat Retha tertegun sendiri atas pertanyaannya. Sudah satu minggu menemani sang sahabat menginap di rumah kecil dan harus bertahan tanpa adanya AC seperti rumah orang tua.
Sang mommy menyetujui Retha menemani Belin menginap dari hari di mana Lindo dipulangkan dan keesokan hari dimakamkan. Semua biaya tersebut dan pengurusan sampai ke peristirahatan terakhirnya ditanggung oleh Retha dan Rayan.
Meskipun Retha mampu membiayai sendirian dengan uang simpangan atau menggunakan uang orang tua pada akhirnya Rayan sendiri keukeuh juga ingin membiayai semua, jadilah mereka berdua berbagi saja. Perihal rumah sakit tentu tak dibayar karena milik keluarga Soares.
"Kak Lindo pasti udah tenang di sana, Bel," kata Retha berusaha menahan kesedihan melihat kondisi sang sahabat.
Bagaimana tidak, sudah satu minggu ini Belin hanya makan satu kali dalam sehari. Hanya 5x suapan terbanyak yang dimakan. Beruntung masih meminum 3 gelas air di mana Retha memaksanya untuk itu semua. Jika tak ada paksaan Belin tidak akan menahan kelaparan sebisa mungkin.
Belin yang ceria tak terlihat lagi, paginya sampai siang berada di kamar Lindo berbaring atau duduk menekuk lututnya saja. Sore hari ia akan duduk di ruang tamu bersiap makan seperti saat ini.
Malam hari setelah sholat isya juga mendoakan Lindo dan mengaji sejenak, ia akan tidur. Menangis terlebih dulu tanpa sadar akan tertidur oleh tangisan yang mengalir. Retha melihat itu juga ikut menangis melihat kondisi sahabatnya.
Belin terdiam, penglihatannya hanya tertuju ke arah pintu terbuka lebar guna angin sore masuk. "Apa kak Lindo nggak rindu Belin, ya? Padahal Belin sangat rindu sama kakak." Kini mata delima itu kembali berkaca-kaca.
"Bel." Retha memegang pundaknya.
"Retha boleh Belin minta tolong?"
"Apa, Bel?"
"Tolong ajak kakak pulang, Ret, katakan kalau Belin sangat rindu sama dia. Belin mohon Retha, Belin nggak mau sendiri, cukup Belin ditinggal mama ... kakak?" lirih Belin masih dapat terdengar jelas ke telinganya.
Tak kuasa menahan bendungan pada kelopak, setetes air mata itu lolos membasahi pipi Retha. "Sini, Bel." Langsung saja menarik Belin dalam pelukannya. Retha ikut menangis merasakan kerinduan Belin dengan Lindo.
Retha juga sama halnya, dia juga rindu sosok Lindo. Ternyata waktu itu adalah senyum terakhir Lindo yang ia lihat sebelum tragedi. Dia juga sakit, pujaan hatinya telah pergi untuk selamanya dari dunia.
"Bel, lo nggak sendiri, gue selalu ada di sini buat lo. Jangan pernah ngerasa sendiri lagi, ya. Ada kak Rayan, kak Kevlar dan lainnya juga ada buat lo," ujar Retha. Langsung saja mengusap air matanya. Setelah itu membuka pelukan dan mengusap air mata Belin.
Setelah kepergian Lindo, Rayan juga Kevlar selalu datang ke rumah Belin tiap hari. Entah kenapa hari ini dia datang telat. Biasanya akan datang dipagi atau siang hari sambil membawa makanan atau barang yang bisa hibur Belin. Namun, semua itu percuma, Belin belum dapat mengukir senyumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELINDA (END)
Teen FictionLelah. Satu kata yang menggambarkan diri seorang Belinda, gadis remaja yang harus melalui pahitnya kehidupan. Membungkam air mata yang harus tergantikan oleh senyum merekah untuk terlihat kuat menghadapi keadaan. Banyak yang membenci, menghina, men...