Forty √Kevlar Feeling

643 15 6
                                    

Bunga akan layu tanpa disiram, buah tak akan tumbuh jika bunga kering. Sama halnya dengan perasaan akan selalu ada jika nantinya tak harus diisi oleh sang empu.

⛅⛅⛅

Raut wajah dari seorang pemuda terlihat gelisah, kedua alis hitam berpaut karena cemas. Sedari tadi mondar-mandir tak jelas. Sepulang sekolah dibenaknya hanya ada pertanyaan-pertanyaan yang abangnya sendiri bingung menjawab.

"Bang, kok si Belin tadi nggak ke sekolah, ya?"

"Nggak tahu juga," jawab Rayan singkat. Segelas susu panas di meja hadapannya diaduk pelan sembari tangan satu membuka lembaran buku siap dibaca.

"Si Retha juga mana nggak ada lagi."

"Gue juga bingung waktu ke kelasnya, kata ketua kelas mereka berdua nggak masuk hari ini."

"Belin udah maafin gue nggak, sih?" Mata Kevlar melihat Rayan tepat laki-laki itu menatapnya.

"Iya, lo nggak ingat waktu dia ke sini?"

"Ingat, lah. Yang gue pikirin setelah hari itu Belin nggak pernah tengokin gue. Chat gue juga dibalas seadanya dan itupun slowrespon banget."

Bola mata hitam Rayan menatap gelas hadapannya. Membenarkan apa yang dikatakan sang adik barusan. Bukan Kevlar saja melainkan pesan-pesan dari dia juga dibalas seadanya dan lama. Sejak Kevlar sakit dia terlalu fokus mengurusnya karena keluarga harus mengurus mami Kevlar masih berurusan dengan hukum berlaku.

Namun, saat Kevlar mulai sehat, Rayan terpaksa harus mengurus pekerjaan yang sudah terabaikan beberapa hari. Dia benar sibuk dengan pekerjaan dan tidak sempat menemui Belin, pujaan hatinya.

Hari ini, hari yang dia tunggu-tunggu berharap bertemu Belin yang sangat dia rindukan. Raut wajah dipasang sangat ceria memudar ketika tak menemukan sosoknya. Senyum masam terukir hingga pulang sampai rumah. Bukan hanya Rayan, namun, Kevlar juga demikian.

"Bagaimana kalau kita ke rumahnya aja malam ini?" pikir Kevlar lalu duduk disamping Rayan.

Rayan mengangguk. "Yaudah nanti kita ke sana." Kevlar mengepalkan tangan senang seraya berkata yes meski itu pelan tetap didengar Rayan berada sampingnya.

Mata Kevlar memandangi sekitaran rumah. Lebih tepatnya ruang tengah, hanya ada satu per satu pembantu lalu lalang. Jari-jari kaki mengetuk lantai dengan jemari tangan saling menggenggam satu dengan yang lain.

Napas mulai diatur pelan-pelan, menelan saliva berulang kali. Dia ingin mengatakan sesuatu ke abang, tetapi ketakuan itu ada. Jika ini terus terpendam sendiri bagaimana abangnya tahu apa yang dia inginkan.

Ruang keluarga terasa dingin tetap saja satu tetes keringat dari pelipis Kevlar turun. "Kev, lo kenapa?" tanya Rayan merasa risih dengan sikap adiknya meresahkan. Meski tak langsung menatap Kevlar, Rayan tahu jika dia ingin mengatakan sesuatu namun sedikit takut. "Katakan saja apa yang lo mau katakan."

Lagi-lagi Kevlar menelan saliva lalu tersenyun kikuk. Sang abang tahu apa yang ingin dilakukan sekarang. "Em ... gue mau ngomong sesuatu, Bang, boleh?" katanya sambil memperbaiki duduk. Kaki diangkat ke atas sofa menyilang.

Rayan peka langsung saja menutup buku bacaannya lalu menoleh menatap Kevlar. "Omong aja, tumbenan pake izin segala. Lagian lo udah sehat atau kesambet pake izin gini?" Deretan gigi Kevlar terlihat setelah mendengar ucapan sang kakak sepupu bisa-bisanya melawak.

"Gue nggak tahu harus ngomong apa lebih dulu, gue juga nggak tahu kenapa perasaan gue gini, gue bingung harus apa tapi ini yang gue rasain," tutur Kevlar berhasil membuat Rayan mengernyit bingung atas kalimat adiknya terlalu berbelit.

BELINDA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang