Diam-diam ada rasa tersendiri telah tumbuh. Rasa yang tak disangka datang hanya dari pertemuan awal. Apakah ini namanya jatuh cinta?
⛅ ⛅ ⛅
Sorot mata Pak Denil begitu tajam menjadikan suasana kelas begitu menegang. Diam seribu bahasa tanpa ada suara bergemuruh kecuali hiruk-pikuk angin masuk melalui jendela.
"Kumpulin tugas sekarang!" titah Pak Denil bernada tegas. "Kumpul buku ke Heril."
"Siap, Pak!"
Seperti biasanya buku tugas di kumpul ke Heril selaku ketua kelas. Hal ini di lakukan agar murid tertib.
Heril berdiri dari duduknya. Ia mulai mengambil buku teman-temannya dari meja depan sampai paling terakhir.
"Mampus tuh anak kamseupay tugasnya pasti belum selesai," ujar Cristal penuh kesenangan.
Ia melihat Heril mengambil buku tugas Belinda. "Siap-siap aja kena hukum." Cristal mengibaskan rambutnya ke belakang.
"Enak, dong, nanti kita nonton pertunjukan lagi," ucap Prisila yang ada di samping Cristal gregetan.
"Yes, akhirnya kita nonton baduk angkat kursi atas kepala lagi." Frinska yang mendengar kedua sahabatnya itu tengah cerita langsung berbalik.
"Ngakak, ntar." Mereka bertiga tertawa dengan membekap mulut. Jika tidak, mungkin Cristal dan temannya bakalan jadi boneka pinikio di atas.
"Ayok, siapin bahan lemparan buat cupu itu gaes. Nggak bakal seru cuma nonton, kita harus lemparin dia biar makin seruu," saran bodoh dari Prisila, ia cekikikan sendiri.
"Bener lo, Pri. Tumben pintar," puji Frinska yang diangguki Cristal.
"Ealah, gue dari dulu pintar, ya. Kalo nggak gue udah sekolah di tempat anak-anak jelata."
"Pinter dari mana? Otak lo selalu bloong!"
"Eh, gue pinter, ya. Nggak seperti si anak cupu itu, namanya siapa, tuh?"
"Rakyat Jelata!" Seruan Frinska cukup keras membuat seisi kelas mendengar tertawa. Mereka tahu orang yang di maksud Frinska itu Belin.
"DIAM!" tegur Pak Denil menatap elang sesaat murid ini riuh. "Apa yang kalian tertawakan?" Puluhan pasang mata menatap Pak Denil tak bisa di jelaskan.
"Lihat tugas-tugas kalian. Diantara tiga puluh lima orang, cuma satu orang yang dapat nilai seratus," ujar Pak Denil sembari menggelengkan kepala.
"Mau protes, Pak!" Cristal mengacungkan tangan. Sekelilingnya berbalik melihat Cristal. Menunggu reaksi apa lagi yang di lakukan sang primadona kelas 11.
Guru berkecamata hitam dengan lensa putih itu memicingkan mata ke arah Cristal.
Cristal meneguk seliva, "maksud Bapak tadi di antara tiga puluh lima siswa, cuma satu yang dapat nilai seratus. Gue tau, nilai seratus itu pasti tugas gue kan, Pak?" Alisnya naik dan tersenyum ke yang lain.
"Dan Bapak harus tau, di antara semua siswa kelas ini ada yang belum mengerjakan tugas!" Belin yang mengerti maksud Cristal hanya tertunduk.
"Apa? Kamu salah. Bapak sudah periksa di sini ada tiga puluh lima buku, semuanya sudah kerja. Cuma satu orang yang dapat nilai seratus dan itu bukan kamu Cristal!" ucap Pak Denil lalu meninggalkan berjalan menuju arah meja siswa.
"Hah? Not me?" kaget Cristal, ia tidak percaya dan menganggap gurunya ini bercanda. Seketika kesombongannya tadi menciut. "There is a mistake!"Saking kaget Cristal memukul meja sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELINDA (END)
Teen FictionLelah. Satu kata yang menggambarkan diri seorang Belinda, gadis remaja yang harus melalui pahitnya kehidupan. Membungkam air mata yang harus tergantikan oleh senyum merekah untuk terlihat kuat menghadapi keadaan. Banyak yang membenci, menghina, men...