Nine √More Real Sinse

382 32 3
                                    

Mungkin sebagian orang tak akan percaya dengan rasa yang ada semakin nyata. Memungkiri hanya membuat diri semakin berantakan.

⛅ ⛅ ⛅

Author POV

Rayan membawa Belin ke lantai empat. Dari belakang Retha mengekor dengan napas tersengal.

"Uh, Kak Rayan jalannya cepat banget." Retha memprotes di depan Rayan. Tak lupa Belin masih setia diam. Ingatannya tadi masih berputar.

"Lo yang lambat," bantah Rayan sembari menelpon seseorang.

Hanya beberapa menit Gavin datang dan menyerahkan sebuah kunci lalu membuka pintu.

"Kevlar, Bisma ke mana?"

"Masih di kantin Jupiter. Nanti juga tuh bocah nyusul."

"Oke." Pintu terbuka, Rayan menarik Belin masuk. Belin tidak menanggapi saat di tarik. Belin masih setia membisu mengingat cemohan murid tadi begitu menusuk.

"Gue juga pengen masuk, Kak," Melihat anggukan Rayan dan Gavin bersamaan Retha juga mengekor masuk.

Retha kaget, ternyata sekolah ini ada rooftop tersembunyi. Sudah satu tahun sekolah di Stailyn High School baru tahu ada tempat seindah ini.

Ada sofa melingkar dan tempat billiard. Ada rak buku kecil serta lemari pendingin kecil juga. Tak lupa tanaman kaktus kecil berjejer rapi diujung kaca pembatas .

"Gue baru tahu ada tempat ini, Kak."

"Ini memang tersembunyi. Cuma kami berempat yang masuk di sini. Dan lo berdua perempuan pertama kali masuk ke sini. Ini tempat peristirahatan kami di jamkos."

Retha mengangguk, ia berbalik ke belakang. Belin masih setia diam. Melihat itu Retha menuntun Belin duduk terlebih dulu.

Rayan cemas melihat kondisi Belin. Ia mengambil air putih dari lemarin pendingin  yang letaknya tak jauh dari ujung sofa.

"Bel, ini minum," ucapnya prihatin.

Botol meniman dingin itu menyentuh kulit Belin membuatnya tersadar sendiri.

"Astagfirullah, Belin ada di mana?" tanya Belin heran. Sedari tadi ia tidak sadar dan hanya melamun.

"Rooftop sekolah, Bel," balas Retha tersenyum kecil. "Kurang ajar sekali Cristal pengen nampar lo. Lihat saja, gue bakal balas dia," sungut Retha meremas jari-jemarinya masih kesal mengingat kejadian tadi.

"Jangan Retha, jangan. Nggak boleh, ih. Lagian Belin nggak di tampar juga ada Kak Rayan."

"Tapi, Bel. Dia sudah keterlaluan."

"Belin nggak papa, Retha. Lupakan saja, ya."

"Serius?" Belin mengangguk, ia berdiri tersenyum manis. "Duarius malah, hehe." Jari membentuk V di udara sembari tawa kecilnya terdengar.

Hatinya masih terluka mengingat cibiran-cibiran murid tadi. Mengatakannya cewek tidak benar, penggoda, dan kata-kata tak senonoh terdengar.

Mendengar kalimat barusan membuat Rayan makin luluh. Rasa semakin nyata tumbuh.  Apa ini hanya sekedar rasa kagum? Atau Rayan benar-benar suka Belin?

"Minum ini!" Perintah Rayan menyodorkan botol minum yang sempat tak terambil.

"Baik, Kak. Terima kasih banyak." Belin kembali duduk di samping Retha, meminumnya dua sampai tiga teguk. "Oh iya. Terima kasih lagi tadi Kak Rayan sudah tolong Belin, ya," ujarnya setelah meminum  nya.

BELINDA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang