One √Early Meeting

1.5K 96 60
                                    

Setiap pertemuan pasti ada rindu yang tak akan terduga datangnya. Sebab, Tuhan tidak akan menciptakan rindu apabila tidak adanya pertemuan.


⛅ ⛅ ⛅

3 tahun kemudian ....

Pagi ini langit begitu cerah. Namun, tak membuat hati seorang gadis berseri secerah mentari. Kabut hitam bertanda mendung meruntuki hatinya saat ini. Bagaikan perahu diambang badai tengah laut. Meski begitu, perahu harus seimbang demi penumpang angkutnya. Begitupun keadaanya sekarang. Ia tak menunjukkan kesedihan depan orang banyak meski batin sedang terluka.

Kacau dalam suasana ini. Entah, bagaimana cara untuk pulang. Sedari tadi hati meronta ingin pulang dan merengek ke orang di depannya yang tengah mengendarai sepeda motor tua nan kusam. Semua ia urung mengingat kejadian kemarin malam. Bertengar hebat mengenai kepindahannya ke sekolah baru.

Perlahan mata delima itu mulai terarah pada gerbang besar bertembok berdiri kokoh, STAILYN HIGH SCHOOL. Sekolah ter-elit dan modern pertama di Indonesia. Di mana dalamnya terdapat siswa-siswi berprestasi dari beberapa kota di Indonesia bahkan ada yang berasal dari luar Negeri. Sekolah itu terkenal sampai penjuru Dunia.

Tepat depan gerbang, terlihat empat pria berumur 30 tahun bertubuh mesomorph. Seragam putih serta paduan celana navy polos dengan sepatu hitam mengkilat melekat.

Gadis itu menelan saliva beberapa kali,  mengerjap mata berulang-ulang. Sangat terlihat di raut wajahnya penuh kecemasan luar biasa.

Perlahan kaki mungilnya menurungi motor dan menginjak aspal berdebuh. Ia melepas helm yang di pakai kemudian menyodorkan ke seorang cowok hadapannya. Ia Belinda Ardella dan sang kakak Belindo Ardefon.

Ya Tuhan ... apakah mimpi Belin semalam? Belin harus sekolah di tempat yang tak pernah Belin bayangin, batinnya cemas melihat keadaan sekarang.

Menghirup oksigen pelan meski oksigen itu masuk bersusah paya.

"Kak Lindo, Belin masuk dulu ya! Kak Lindo hati-hati di jalan," pamit Belin, sebuah senyum manis terpampang palsu. Senyum yang sering ia perlihatkan kepada sang kakak selama ini.

"Kamu jaga diri di dalam. Kakak nggak bisa jemput Belin nanti. Entar, Kakak ada kelas tambahan. Belin nggak papakan pulang sendiri?" balas Lindo seramah mungkin. Ia mengambil helm dari tangan Belin.

"Iya Kak, sip. Belin bisa pulang naik angkot, kok."

Lindo tersenyum tipis. "Oiya, Dek. Maafin Kakak udah marahi kamu abis-abisan semalam, Kakak nyesel."

"Kak Lindo nggak usah minta maaf ih ... Belin nggak marah sama Kakak mau Belin kena pukul pun tak akan marah, hehe." Entah kenapa hanya dari suara lembut Belin yang tulus selalu berhasil bikin hati lega.

Kini kendaraan mulai padat dan berlalu lalang memasuki parkiran sekolah. Mobil, sepeda motor, yang masuk semua terlihat mewah dan mahal. Juga beberapa siswa-siswi diantar menggunakan kendaraan pribadi.

Beberapa siswi menatap ke arah Belin dan Lindo. Bukan tatapan ramah yang terlihat melainkan remehan bahkan tatapan jijik. Seakan manusia depan gerbang ini adalah sampah yang ingin dibuang.

Lindo memperhatikan tatapan mereka. Raut wajah bahagia akannya Belin masuk sekolah baru, malah berubah menjadi raut wajah khawatir. Disisi lain Belin membeo tanpa berkedip. Ya Tuhan Belin belum injak pakarangan sekolah aja udah disambut dengan tatapan merendahkan bagi mereka, kata Belin dalam hati.

Mulai tersadar, ia berusaha melengkungkan kedua bibirnya membentuk sebuah perahu kertas. Mengambil napas lalu membuangnya teratur. Tangan mungil berkulit putihnya menepuk pundak sang kakak. Membuat empu yang ditepuk kaget.

BELINDA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang