14. Patah

216 43 3
                                    

Sinita melengos pelan. Berkali-kali meninju lengan besar sahabatnya ini dengan kesal. Tapi yang jadi sasaran hanya bergumam kecil dengan wajah menumpu pada meja. Kedua matanya tertutup rapat.

Bahkan seolah tak peduli suasana riuh di ruangan itu. Atau mungkin tak mendengar apapun kehilangan kesadaran.

"Sono lo pulang Sin," Sintia menoleh. Menatap Lucas yang santai saja duduk di seberangnya. "Biarin aja."

Gadis itu menghela nafas panjang. Mengutuk cowok ini yang malah tak sadarkan diri. "Angkat Cas," perintahnya langsung dibalas decakan Lucas.

"Nyusahin aja njing!" umpat Lucas menendang kaki panjang Abim dengan kesal.

Cowok berwajah tegas itu menggerakkan dagu. Seketika ada beberapa orang lainnya muncul dari lautan manusia disana.

Janu melongo, duduk di sebelah Sintia dengan gelengan kecil melihat cowok jangkung itu masih diam tak bergerak. Dion yang kebetulan baru datang juga tertawa tanpa dosa.

"Besok sekolah anjir," Janu berdiri meraih lengan besar Abim. Lalu menoleh pada Dion meminta bantuan.

"Patah hati jangan mabok juga si!"

**Sayna!**

Yena melongok ke luar kelas yang mulai ramai. Karena hari senin ini ada apel seperti minggu-minggu sebelumnya. Doni di depan kelas langsung mengusir anak kelasnya agar keluar turun menuju lapangan utama.

Yena menghela nafas kecil. Tak melihat cowok jangkung itu sejak tadi ia berangkat. Gadis itu melompat kecil ke sisi Nika yang menoleh kaget dengan Sintia yang memasang wajah datarnya.

"Sin, lo--" belum selesai dengan ucapannya, Sintia sudah berbaris rapi di deretan depan. Membuat gadis itu mendengus.

Nika yang masih mencari tempat ternyaman akhirnya menjadi sasaran Yena. "Ka,"

Nika bergumam pelan, menyibak rambut panjangnya yang menutupi wajah cantiknya. "Lo, liat Abim?" tanyanya berbisik kecil.

Gadis berwajah anggun itu jadi berbalik lagi menghadap belakang. Dimana Yena tengah menatapnya menunggu. Nika melirik kecil ke arah depan.

"Gak tau Na, udah jarang main gue," Katanya langsung berbalik ketika guru di depan mulai menginterupsi bahwa apel pagi akan segera dilaksanakan.

Yena menggigit bibirnya. Berkali-kali melirik ke samping, berharap cowok jangkung itu datang meski terlambat.

Gadis itu merasa hatinya kacau. Apalagi ketika tahu Abim melihatnya bersama Yohan di Minoki sore itu. Mengingat bagaimana wajah mengeruh dan tatapan nanar yang ia dapatkan. Rahang tegas yang mengeras itu membuat Yena merutuk.

Kenapa di saat seperti itu dia tak bisa berkata apapun. Beranjak untuk menarik kembali cowok jangkung itu agar mendengarkan pernyataannya.

Yena tak dapat mengatakan apapun. Tak seperti biasanya, dia akan melompat ke depan Abim mengatakan semuanya. Mengatakan apa yang ia rasakan meski dengan lelucon.

Yena mendengus, kemudian mendongakkan kepala setelah mendengar kerusuhan di depan. Melihat ke depan dengan susah payah. Karena tertutup tinggi Doni dan para tiang di barisan paling depan.

Ia tersentak kecil dengan mata melebar dan bibir melongo. Cowok jangkung itu terlihat berjalan malas dan berdiri menghadap peserta apel.

Seragam yang baru dimasukkan ketika bu Airin menunjuknya. Tidak ada topi, ataupun dasi di lehernya. Benar-benar sangat berantakan. Wajah kusut dan mata merah sayu.

Abim berkali-kali menatap barisan kelas. Bertatapan dengan Doni yang pasti akan meledak nanti setelah apel selesai. Cowok jangkung itu melengos, merunduk tak lagi melirik siapapun.

Say Na! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang