34. Pelindung Yang Tegas Dan Berani

187 40 0
                                    

Abim mengeraskan rahang. Ingin berjalan menurui tangga tapi urung. Sekarang hanya berdiri di depan kamar menatap lantai bawah. Ke arah ruang televisi. Dimana sang mama tengah memejamkan mata dan bersandar nyaman pada sofa.

Cowok itu menghela nafas panjang. Kini membentaki diri, mengepalkan kedua tangan dan berdiri tegak. Kalimat Yena sore itu kembali terngiang.

'Ada ego yang harusnya diturunkan,'

Atau,

'Itu yang buat kalian makin menjauh,'


Cowok jangkung itu membasahi bibir bawah lalu meneguk ludah. Meyakinkan diri mulai berjalan menuruni tangga. Meski dengan wajah datar tanpa ekspresi menatap lurus ke arah depan.

Wanita yang sekarang tengah bersandar pada sofa itu membuka mata ketika mendengar langkah kaki. Ia membelalak kecil.

Awalnya menduga remaja jangkung itu akan menuju dapur malah berbelok ke arahnya. Membuat wanita itu tanpa sadar menahan nafas dengan gugup.

Abim berjalan mendekat. Cowok itu berhenti menatap nanar sang mama. Tak melanjutkan langkahnya karena terasa semakin berat.

"Mah," kata cowok itu dengan suara serak. "Mama gak sibuk?" tanyanya lagi. Kali ini menguatkan diri berusaha lebih dekat. Meski tak berusaha untuk duduk di samping sang mama yang jadi mendongak menatapnya.

Perempuan itu menahan nafas. Melengos keras merasakan benteng tingginya kembali dibangun.

"Kenapa lagi kamu?" tanya wanita itu dingin. "Mama dipanggil lagi?"

Abim mendesah. Mengeraskan rahang ingin beranjak. Tapi jadi teringat lagi kalimat Yunda beberapa hari yang lalu. Jika keduanya sama-sama memegang teguh egois masing-masing. Selamanya tak akan ada sapaan hangat tiap pagi.

"Abim gak dipanggil," jawab cowok itu tercekat. Memanggil namanya sendiri seperti kebiasaannya dulu.



Keduanya kembali diam. Membuat keheningan dengan keduanya yang jadi merenung dan saling melengos tak menatap mata masing-masing.

Abim mengepalkan tangan dengan mata terpejam sesaat. Rasanya seperti tertusuk, menohok namun tak bisa membuatnya berdarah.

"Kenapa mama gak pernah peduli lagi?" tanya cowok itu membuat sang mama menoleh. "Apa uang mama belum banyak sampai aku gak pernah diurus?"

Perempuan yang awalnya akan membuka mulut itu jadi mengatupkan bibir. Tertembak tepat, merasa tercekat dengan lidah kelu. Tak dapat membalas apapun kali ini.

"Aku tau, aku lahir dari kesalahan. Tapi bisa gak mama coba peduli sama aku sekarang,"

Cowok itu meremas hape di tangan. Dengan deru nafas naik turun dan tenggorokannya yang terasa mengering.

"Apa karena ayah aku gak sama kayak kak Anna?" tanya cowok jangkung itu kini menegas. "Apa karena aku, mama jadi dicerai ayah?" Abim menatap lurus mamanya.

"--Oh Sorry. Ayahnya kak Anna," sambungnya dengan gaya santai tak peduli dan terkesan menantang.

"DIAM KAMU!" sentak perempuan itu dengan nada meninggi, namun bergetar. Membuat Abim justru menyeringai disentak begitu. "Mama selalu perhatiin kamu, kalau mama gak sayang kamu, untuk apa kamu disini sekarang?!"

Abim tertegun. Meneguk ludah membasahi tenggorokan keringnya. Pemuda itu melengos ketika sang mama mulai mendekat.

Perempuan itu melewatinya begitu saja. Membuat hati Abim terasa sakit, terkoyak begitu saja. Ia kira, setidaknya mama berhenti untuk sekedar melihat matanya yang berkaca-kaca. Tak bisakah, wanita itu tersentuh dengan keberanian Abim untuk melawan egonya sendiri?


Say Na! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang