11. Sambutan

239 43 4
                                    

Cowok jangkung itu duduk di tepian pembatas koridor lantai 2 gedung belakang yang sepi. Ia memejamkan mata dengan satu kaki tertekuk diatas pembatas dengan kaki lainnya bebas menjuntai ke bawah.

Abim mengerjap perlahan fokus ke lapangan olahraga yang terpaut jauh dari tempatnya duduk kini. Bahkan orang-orang yang tengah berlarian itu seperti semut yang memperebutkan gula.

Ia menghela nafas kecil, mulai bersandar lagi pada pilar. Cowok itu menghela nafas panjang melihat si anak Taekwondo itu tertawa riang bersama teman-teman kelasnya.

Apa itu alasan Yena?

Apa karena dirinya tak se ekspresif Yohan? Yang bisa tertawa lebar dan bisa membalas lawakan Yena.

Apa karena dirinya adalah Abimanyu si es beku kantin?

Abim menghela nafas, niat awalnya datang kesini untuk menenangkan diri malah gagal. Pemuda itu turun dari tembok pembatas. Meraih tas hitamnya, hari ini dia lolos dari kejaran bu Acha dan pak Herman. Tapi mungkin saja dia tak bisa lepas dari sang wali kelas.

Cowok jangkung itu membuka bungkus permen mintnya. Melempar bungkus ke arah tempat sampah, tak peduli apakah masuk atau tidak.

Ia menghela nafas kasar mulai mengunyah permennya cepat. Berjalan menuruni tangga, menuju gerbang Selatan yang biasanya sepi. Jadi tempat pelarian orang-orang seperti Abim.

Abim tersentak, tertegun melihat gadis itu sudah di depannya dengan nafas memburu. Yena juga termundur kaget bertemu pemuda itu disini.

Gadis itu memegangi lututnya yang terasa melemas berlari dari gedung depan ke gedung belakang yang cukup jauh. Yena mengatur nafasnya, menghirup udara banyak-banyak. Kemudian menatap Abim lagi.

"Lo disini?" tanyanya setelah mengatur nafas. "Oh, jodoh kali ya?"

Cowok jangkung itu hanya diam menatap Yena yang kini sudah duduk di tangga membelakanginya. Membuat Abim secara naluri ikut mendudukkan diri disamping gadis itu.

"Gak capek apa?" tanya Abim begitu saja.

Yena merenggut kecil, menyandarkan tubuh pada dinding di belakangnya. "Ya capek," Katanya jujur.

"Kok sampai sini?" tanya Abim lagi.

Yena mendengus, menggaruk rambut depannya dan menyingkirkan poni rata yang mulai menutup pandangannya. "Ketangkep pak Jidan tadi,"

Abim hanya mengangkat alis. Tumben gadis ini sampai tertangkap pak Jidan. Karena meski ada di kelas kutukan, Yena jarang tertangkap guru BK. Atau bahkan tidak pernah.

"Ada yang ngadu ke pak Jidan," Yena menghela nafas kecil mulai bercerita. "Gara gara kemarin gue minta kentang dia di Kafetaria,"

"Kenapa?"

Yena melengos, memutar tubuh jadi berhadapan dengan Abim di sisi kanannya. "Karena gue gak terima dikatain pansos."

"Atau emang bener sih gue pansos. Ah gak tau, pusing." sambungnya mengacak rambut kesal sendiri.

Gadis itu mulai mengomel lagi. Membuat Abim menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman tipis ketika Yena menceritakan semuanya tanpa jeda.

Abim senantiasa mendengarkan. Yena memang sering ngegas dan gampang emosi. Tapi, ia lebih menggemaskan ketika mulai mengomel. Dengan bibir bulatnya yang mengerucut serta ujung hidungnya yang kembang kempis.

"Ayo balik bengkel,"

Abim berdiri di satu anak tangga di bawah Yena. Mengulurkan tangan dengan dagu mengarah ke bawah mengajak gadis itu turun.

Say Na! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang