17. Diantar Pulang

206 44 10
                                    

Praja mendengus kesal kini mengendarai motornya sembari misuh-misuh dijalan. Cowok itu berbelok arah menuju warung pinggir jalan di belakang sekolah. Memarkirkan motornya di depan warung yang lumayan luas itu.

"Lah?! Separah itu?" tanya cowok imut itu sedikit mengernyit. Merasa ngilu sendiri, padahal dia hanya melihat dan tak merasakan.

"Ya udah ayok pulang," kata Yena membuat Praja yang akan mendudukkan diri jadi mendengus lagi.

"Biarin lah gue ngopi dulu," Katanya memerotes. Tapi langsung memekik ketika Yena menarik belakang kerah kemeja putihnya. "Iya iya. Astaga!"

Yena meraih kunci di atas meja. Menancapkan pada slot kunci di motor Praja dengan santai mengeluarkan motor matic hitam itu. "Ayo Bim, pulang,"

Praja yang tengah berjalan keluar lantas melotot tak terima menghentikan motornya. Cowok berwajah baby face itu menggeleng keras. "Gak, apa apaan. Ini motor siapa?"

"Ya motor elu lah," jawab Yena enteng mendorong tangan Praja agar menyingkir. "Lo bawa motor Abim. Gue duluan sama Abim,"

Abim hanya diam memerhatikan mereka berdua yang mulai rusuh. Cowok jangkung itu menggeleng kecil menipiskan bibir.

"Gak!" Katanya masih keras kepala. "Abim cowok Na. Masa di boncengin elo?"

Yena melengos. Memakai helmnya mendorong wajah Praja yang mulai mendekat. Gadis itu mencuatkan bibir.

"Elo kan juga cowok!" Katanya tak kalah nyolot dengan wajah songong. "Lo juga sering gue boncengin,"

Abim menghela nafas masih bingung harus menjawab apa. Atau sekedar melerai dua orang sahabat ini yang sudah rusuh tak karuan.

"Ya kan, gue udah jadi adek lo!" jawab Praja menarik besi motor bagian belakang. "Gak. Gak boleh,"

"Lo bawa motor Abim anjir!" Gadis itu meraih seragam Praja untuk lebih mendekat. Lalu berbisik pelan melirik kecil Abim yang masih berdiri di depan warung. "Gak pernah kan lo bawa motor gede?"

Cowok dengan garis wajah lembut itu jadi menoleh ke arah Abim. Ia meneguk ludah kembali mendekat. "Iya deh," Katanya setuju.

"Yaudah. Yok Bim pulang, biar Praja bawa motor lo dari parkiran depan," Katanya tenang.

"Lah anying," Praja kembali menoleh mendelik dengan bibir mengerucut bersiap memerotes. "Gue jalan ke depan sendiri?" tanyanya dibalas anggukan Yena. "Jauh Na, astaga!"

"Gak usah Ja. Gue pulang sendiri aja," kata Abim tenang. Yena refleks menoleh dengan alis berkerut.

"Gak. Lo tuh masih sakit. Biar gue anter aja," Yena turun dari motor Praja, lalu melepas helm. "Ayo cari angkot atau apapun sama gue, gue anter balik."

Abim menipiskan bibir tak memerotes. Hanya memasang wajah datarnya seperti biasa. Kini Praja yang mengumpat ingin menendang cewek macho itu.

Yena sudah menarik Abim ke tepi jalan mencari taksi. Kemudian kembali menoleh ke arah Praja yang jadi mengatupkan bibir karena tadi mencibir gadis itu.

"Lo langsung pulang," Katanya mengingatkan. "Bunda udah masak banyak,"

Praja mendecih tak peduli. Ketika Yena dan Abim sudah masuk ke dalam taksi yang dihentikannya. Kemudian melaju ke arah selatan.

"Eh Bim. Motor lo gimana?" tanya Yena baru ingat. "Ih masa ditinggal di parkiran sekolah?"

"Udah biasa Na," jawabnya tenang menyandarkan tubuh.

Yena mengangkat alis. Sudah gatal ingin bertanya banyak hal, tapi cowok ini diam menutup matanya membuat Yena ikut diam tak nyeletuk.

"Kalo capek," Gadis itu berdehem pelan. "Lo boleh nyender ke gue," Katanya lagi menepuk bahu kanannya.

Say Na! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang