32. Mungkin

166 37 1
                                    

Abim menghembuskan nafas panjang dengan lelah. Di sampingnya ada Yena, yang kini menyedot bubble tea rasa taro nya.

"Apa gak bisa lo bicara baik-baik Bim?" tanya gadis itu dengan hati-hati. Menatap wajah dingin Abim yang tak memandangnya. "Semuanya juga punya alasan. Termasuk alasan lo selalu gak nyaman sama mama lo,"

Cowok itu mengeraskan rahang. Memejamkan mata sejenak dengan lelah. Abim kemudian menoleh, menatap mata bundar gadis itu yang mengerjap pelan.

"Gue gak tau apa ini bakal berakhir bahagia, Na," Katanya dengan suara serak dalamnya. "Semua udah menjauh dan susah buat mendekat lagi,"

Yena yang mendengar itu ikut menghela nafas. Bagaimanapun, dia hanya seorang remaja yang mendengarkan cerita salah satu teman kelasnya mengenai kehidupan peliknya.


"Lo, gimana sama Ujin Praja?" tanya Abim mengalihkan pembicaraan. Membuat Yena meringis kecil tersadar.

"Eum.. Ya gitu," Katanya mencicit kecil. "Gue gak bisa balik gitu aja. Kalo mereka masih berusaha sembunyi,"

Abim mengangkat alis. "Lo udah tau siapa?"


Yena menggigit bibir. Sebenarnya ingin mengatakan semuanya pada cowok ini. Tapi jiwa usilnya lebih mendominasi dan memilih mulai drama bersama trio nya. Gadis itu meneguk ludah menguasai air muka dan mulai drama.

"Susah Bim. Apa-- besok kursi gue udah di pindah samping meja guru ya?" ujar Yena dengan mata menerawang. "Ujin belakang gue, sampingnya si Praja. Bisa jadi kursi gue besok pindah tempat,"


"Kalian udah sahabatan lama Na, mereka gak akan ngelakuin itu," balas Abim dengan tenang.

Yena mengangguk kecil. Kembali menyedot bubble tea yang tersisa di dalam gelas plastiknya.

"Hm, kalian udah lama bareng. Bahkan lebih dari sahabat," kata Yena terkesan ambigu. "Mana mungkin orang yang sayang sama lo melebihi siapapun selalu gak peduli?"

Yena meneguk ludah. Memberanikan diri menatap mata tajam cowok itu yang kini diam mematung dengan bibir terkatup rapat.



"Bim, mama lo punya alasan kenapa beliau seolah gak peduli sama lo," Katanya lagi. Mencoba memberi pengertian pada cowok jangkung itu. "Kalo sahabat jadi musuh itu biasa. Tapi kalo anak sama ibu musuhan. Mau di azab lo?"

Abim mendelik tak terima. Melengos mengalihkan wajah. Membuat Yena mencibir begitu saja.


"Gini ya es beku." kata gadis itu berdehem kecil sembari memperbaiki posisi duduk. Ia diam sejenak, kemudian meneguk ludah.

"Lo merasa mama lo gak peduli, mama lo cuma tau bisnis, uang adalah segalanya," Katanya dengan gaya dewasa. "Harusnya lo pernah berpikir bahwa mama lo gak baik-baik aja. Bahkan harusnya mama lo yang ngeluh ini itu,"


Gadis itu menghela nafas panjang. Kini dalam mode serius. Sesaat ia memandangi wajah dingin itu lagi. Berharap si es beku bisa mencair.

"Apa mama lo se-enggak peduli itu?" tanya Yena lebih lirih.

"Dia gak pernah anggap gue ada," kata Abim tercekat. Dengan rahang mengeras dan mata berkaca-kaca yang siap menumpahkan cairan bening dari mata tajamnya. "Karena gue lahir dari kesalahan."

Yena menggigit bibir. Seperti tertampar dengan pernyataan cowok jangkung itu. Tangannya terangkat, menepuk bahu Abim menyalurkan empati. Yang tak lama tangannya meraih bahu cowok itu membawa ke dalam pelukannya.


"Lo hebat," ceplos Yena begitu saja. Masih dengan tangan mengusap lembut punggung Abim menenangkan. "Lo bahkan punya topeng menyembunyikan semuanya. Gue pengen jadi lo, yang bisa mengendalikan diri. Gak terbawa suasana,"

Say Na! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang