28. Perlu Bersandar

191 38 3
                                    

Yena mengerjap kecil. Meneguk ludah segera berbalik lagi ingin memasuki rumah. Tapi cowok itu sudah lebih dulu sampai dengan nafas memburu.

Cowok jangkung itu berjalan cepat dari arah barat. Tempat motor hitamnya diparkirkan di depan rumah tetangga Yena.


"Gue mau ngomong," Katanya masih mengatur nafas. Kemudian menegak bersandar pada pagar depan rumah Yena.

Yena hanya diam, melengos lagi karena hampir melirik cowok di sampingnya. Gadis itu menegakkan tubuh tak lagi bersandar pada pagar rumah.

"Bukannya enak gak berurusan sama gue?" tanyanya dengan intonasi tegas dan dingin. "Lo bebas mau ngapain tanpa gue,"

Cowok itu mendesah, jadi maju beberapa langkah untuk mendekat. Tangannya terulur, menurunkan tudung hoodie Yena dan menepuk puncak kepala gadis itu. Yang tak lama jadi mengelus puncak kepala Yena lembut.

"Maafin gue," Katanya dengan lirih. "Gak semua masalah lo itu tentang gue, kan?"

Yena mendongak menatap si jangkung Abim. Ia mengerjap dan menggigit bibir mencoba untuk tidak meledak.

"Sini cerita, lo kenapa?" tanya cowok itu dengan lembut, masih mengusap puncak kepala Yena. "Ada apa, hm?"


"Lo yang ada apa? Kenapa gue lagi gini lo malah pergi?" amuk Yena masih menahan diri tak mengeluarkan suara serak menggelegarnya. Membuat Abim melebarkan mata. "Kalo lo tau, kenapa malah menjauh gak peduli sama gue, ha?!"

"Lo anggap gue temen lo, tapi gue anggep lebih dari itu,"

Abim tertegun. Gadis di depannya sudah mengamuk dengan mata berkaca-kaca.  Ia hanya diam mematung menatap Yena.

Abim meneguk ludah, tanpa kata menarik Yena, merengkuhnya membuat gadis itu tersentak kaget. Meski berikutnya Yena jadi terdiam seakan disihir dengan kata-kata Abim.

"Lo pernah bilang, kalo capek gue perlu bersandar," Katanya dengan lirih kemudian berdehem pelan. "Tapi sekarang lo yang harus bersandar sama gue,"

Yena merutuk, ingin pergi dan melepaskan rengkuhan cowok ini. Tapi disatu sisi ia nyaman. Satu minggu terakhir dia tak pernah berkomunikasi intens dengan Abim.

Cowok jangkung ini, entahlah tahu atau tidak bagaimana perasaan Yena saat ini.

"Mau bakso depan gak?" tanya Abim lagi. Melonggarkan pelukannya jadi merunduk menatap Yena yang masih melengos. "Katanya lo suka bakso depan itu?"

"Gak usah sogok gue sama makanan deh," jawab Yena merajuk. Meski tak dapat mengalihkan perhatian Abim dari wajah memerahnya yang ketara sekali.

"Oh gak mau? Maunya apa?" tanya Abim dengan kepala sengaja dimiringkan. "Gue?"

Yena melotot kecil dengan mulut tengaga lebar. Kenapa?



"Sejak kapan?" ceplos Yena begitu saja. Dengan wajah polos dan matanya yang bergerak bingung.

"Apanya?" balas Abim kini sama bingungnya.

"Sejak kapan lo jadi bar bar gini?" Abim mengangkat satu alisnya. Mengacak poni rata Yena dengan gemas.

Cowok jangkung itu tak tahan jadi memainkan pipi bulat Yena dengan gemas. "Sejak gue merasa kalo lo orang yang wajib gue perjuangkan,"

Yena kembali melotot. Berikutnya bergumam tak jelas karena kedua pipinya ditekan Abim membuat bibirnya mengerucut mengikuti.

Abim masih tertawa tak memberi ruang gadis ini untuk bicara lebih banyak." Dah ayo malam sabtu an," Katanya dengan riang membuat Yena mengernyit heran.

Say Na! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang