"Yang fana itu waktu, kita abadi. Menghitung hari, menghitung tahun, sampai kita lupa untuk apa"
Oleh sapardi Djoko Damono
"Permisi"
Ten segera mengalihkan pandangannya. Menatap Sia sang MUA nya dengan tatapan bingung. Sedangkan Sia tampak kikuk.
"Ada apa?"
"Aku hanya ingin bertanya. Kapan aku libur?"
Maka Ten keheranan. Apa Sia tidak tahu jadwal mereka? Ah Ten lupa. Senja sudah libur. Senja pasti lupa memberi jadwal pada Sia.
"Kau akan bekerja seperti biasa 2 hari kedepan. Setelahnya kau akan ku panggil jika ada jadwal mendadak"
"Jadwal mendadak?"
"Kalau aku ingin melakukan Vlive atau membuat konten. Bukankah kau sangat diperlukan?"
"Ah iya"
Sia diam begitupun Ten. Sia menunduk dalam dan Ten menatap Sia lekat.
"Jadi?" Tanya Ten.
"Jadi?" Cicit Sia.
"Untuk apa lagi kau berdiri di sini? Masih ada yang ingin kau tanyakan?"
"Tidak—aku akan pergi. Te—terimakasih"
Sia berlari dari hadapan Ten dengan langkah kaki kecilnya. Membuat Ten sangat gemas. Tunggu—apa? Ten gemas? Ah pasti kepala Ten baru saja terbentur batu.
***
"Serius cuman mau kesini?" Senja masih ragu. Untuk apa Sungchan membawanya ke sini? Ini bukan hari minggu.
"Banyak bacot lo" Sungchan mengangkat kerah baju Senja dan menariknya masuk ke dalam Gereja.
"Lo mau doa Chan?"
"Chan!"
"Nggak ada orang loh! Ini bukan minggu"
"Lo pasti mau minta pengampunan dosa ya? Emang sih Chan, dosa lo udah berlimpah"
"Gue bantu doain deh! Biar dosa lo terangkat dikit"
"Ja! Lo bisa diem nggak? Ini tempat ibadah"
Senja cengar-cengir. Akhirnya ia menurut pada Sungchan. Menutup mulutnya rapat dan hanya mengekor pada Sungchan.
"Sungchan?" Refleks Sungchan dan Senja berbalik ke belakang. Mendapati seorang lelaki dengan pakaian rapi tersenyum hangat pada mereka.
"Akhirnya" Sungchan memeluk lelaki itu. Memeluknya sangat erat seolah banyak cerita yang harus dia beritahukan.
"Ada apa? Dia siapa?" Tanya lelaki itu sambil menatap Senja ramah.
Sungchan menarik Senja agar maju selangkah. "Dia Senja, manager kami"
"Oh cantiknya" Senja dan seorang lelaki yang Senja yakini adalah pendeta di gereja itu berjabat tangan dengan hangat.
Kening pendeta itu berkerut. Matanya menerawang seolah mencari seseorang. "Mark. Dimana dia?"
Deg!
Senja tertegun. Nama itu sangat sensitif bagi Senja. Dan pendeta itu baru saja menanyakan keberadaan lelaki itu.
Tanpa Sungchan tahu sejak kapan matanya sudah berair. "Di-dia—" Jawab Sungchan terbata.
"Hey kenapa menangis? Apa yang terjadi?" Pendeta itu menatap Sungchan penuh hari walau dia belum tahu apa yang terjadi.
Ini pasti bukan perkara kecil hingga Sungchan menitikkan air mata seperti ini. Sungchan adalah anak yang periang. Itu berarti dia sedang berada dalam luka mendalam jika dia menangis ketika bercerita.
"Dia meninggal"
Maka tak ada alasan untuk pendeta itu tidak menitikkan air mata. Ia menatap kedua mata berair Senja meminta kebenaran dan yang dia dapati hanya tangisan Senja. Air mata mereka menjawab semua.
Berarti itu benar?
Sungchan menceritakan seluruh kejadian itu pada pendeta yang selalu dibenarkan oleh Senja. Setelahnya mereka bertiga berdoa untuk mendoakan mendiang Mark.
"Ini" Sungchan mengangkat sebuah tas yang dia bawa. Memberikan tas itu pada pendeta.
"Apa ini?" Tanya pendeta itu.
Sungchan tersenyum ketika mengingat siapa pemilik tas beserta isinya itu. "Itu tabunganku dengan Mark. Kami menabung bersama agar hasilnya nanti dapat kami sumbangkan. Waktu itu Mark sangat bersemangat untuk melakukan ini. Membuat janji agar mengantarnya kesini bersama sama"
"Dia sangat berhemat agar bisa banyak menabung. Tapi—dia lebih dulu pergi"
Segala hal tentang Mark sangat sensitif bagi mereka. Ketika mengingat nama lelaki itu menimbulkan sesak dan luka mendalam. Kepergiannya begitu mengejutkan. Sosoknya terlalu mulia untuk diiklaskan.
Senja dan Sungchan sudah kembali ke hotel. Kini keduanya duduk di lantai dengan menselonjorkan kaki mereka. Sama-sama menyandar pada tempat tidur.
"Ja" Panggil Sungchan setelah beberapa menit mereka dilanda keheningan.
Senja melirik Sungchan dari ekor matanya. "Apa?" Tanyanya.
Sungchan memperbaiki duduknya. Kepalanya sedikit tertunduk. "Apa pernah sedikit aja lo ada rasa sama gue"
Deg!
Senja membeku. Tak tahu harus menjawab apa. "Gue nggak minta banyak. Sedikit aja. Kalau sekarang pun nggak ada rasa juga nggak papa. Atau sebelum hari ini, di hari-hari sebelumnya apa pernah sedikit aja lo ada rasa sama gue"
Tak ada jawaban dari Senja. Sungchan sangat kecewa tapi tak mungkin dia memaksa Senja. Cinta tak bisa dipaksa bukan?
Sungchan berdiri dan naik ke atas tempat tidur. Meninggalkan Senja dalam kegundahannya
Baru lima menit Sungchan memejamkan mata, dia merasa ada sesuatu yang menempel di bibirnya. Dengan perlahan dia membuka matanya.
Ia terkejut sekaligus bahagia. Tanpa dia sadari bibirnya tersenyum disela sela lumatan Senja di bibirnya.
Sungchan mengangkat tubuh Senja dan membaliknya. Mengukung Senja di bawahnya. Dan yang dia dapati adalah wajah Senja yang sudah seperti kepiting rebus.
"Itu artinya..."
"Apa perlu aku jelaskan menggunakan rumus tuan Jung?"
Sungchan terkekeh pelan. Ia kembali mendekat pada Senja guna menyatukan bibir mereka. Seolah mereka lupa kalau mereka selalu bertengkar, saling mengejek, mengerjai. Kini mereka saling bertukar saliva dengan perasaan campur aduk.
Senja tak dapat memungkiri dia pernah menyimpan rasa pada Sungchan. Senja tidak tahu apakah itu cinta atau perasaan selintas saja. Ia merasa sepi ketika Sungchan tidak mengganggunya. Merasa kosong bila Sungchan tidak membuat ulah yang malah menyibukkannya.
Merasa sepi bila tak melihat lelaki tengil itu. Sebenarnya perasaan apa itu? Kalau selama ini dia mencintai Sungchan, lantas perasaannya pada Mark hanya kagum saja? Atau nyaman karna sifatnya?
Entahlah! Senja tak mau memikirkannya. Buktinya sekarang dia terbuai dengan semua sentuhan Sungchan. Menerimanya atau mungkin—
—Menikmatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NCT V [END]
Fanfic"Hari ini sulit. Dan aku yakin besok juga pasti lebih sulit" Sungchan menatap video yang dia rekam di ponselnya dengan berlinang air mata. Video bayinya yang masih ada diperut Senja ketika menemani istrinya itu periksa ke rumah sakit. Jantung Sungch...