2: Masih ada di hati |S1 (Revisi)

7.6K 1.3K 274
                                    

Note: Halo, kepada kalian yang mungkin baru saja membaca cerita ini atau baca ulang, fyi chapter 2 ini benar-benar berubah total karena isinya kehapus.

Aku gatau gimana kronologinya, cuman yeah mau gimana lagi, drafnya udah gada dan aku terpaksa ngebuat isi yang baru.

So, enjoy!

***

Bayang-bayang kematian sang ibu masih menghantuinya. Tak pernah ada habisnya dan tak pernah bisa memberikan [Name] waktu tenang untuk tidur. Tiap malam, tiada hentinya memori buruk menyerang benak serta tidak mengizinkan [Name] menikmati malam sunyi dalam tenang.

Dia trauma. Masih menyangkal akan kematian ibunya. Terkadang pun, pertanyaan sejenis apakah ibunya sudah mati atau belum masih sering ia lontarkan tanpa jengah.

Dia bocah 10 tahun yang melihat sendiri kematian ibunya, memangnya siapa yang bisa menerima hal tersebut dengan mudah? Apa kalian bisa? Di usia yang belia seperti itu?

"Apa yang kau pikirkan?"

Saat itu [Name] sedang termenung di barak pengungsian. Angin siang hari begitu sejuk untuk menenangkan pikiranya yang kalut. "Ibu ... apa dia telah tiada?" Pertanyaan yang sama ia lontarkan pada James dan Ellie yang baru saja menghampirinya.

James mendudukkan dirinya di samping kiri [Name] beserta Ellie yang mengambil posisi duduk di sebelah kanan [Name].

"Hentikan pertanyaan itu. Kau sendiri sudah tahu jawabannya kan?" James berbalik bertanya. Membuat kedua pandang [Name] menyendu. "Ibu sudah tiada, [Name]."

Menyentuh dadanya, tangan mungilnya meremas serat pakaiannya. [Name] tak ingin ini terjadi. Dia masih sangat ingin menghabiskan banyak waktu bersama ibunya.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya [Name], kepada siapa pun itu.

Mendongak, James memperhatikan langit biru yang cerah. "Kau, aku dan Ellie harus memulai hidup baru."

"Itu benar, [Name]! Kita harus bangkit!"

Menyedihkan sekali tiga bocah ini.

Bangkit dari duduknya, [Name] berkacak pinggang. "Apa dengan begitu kita akan melupakan ibu kita, James?"

James menarik nafas panjang. "Tidak."

"Tapi, kenapa?"

James melirik Ellie sejenak kemudian kembali menatap [Name] yang membelakanginya. "Tidak peduli ibu pergi terlalu jauh atau telah tiada, dia tetap ada di hati kita, [Name]."

Merry akan selalu indah di dalam relung hati [Name] dan James. Begitulah James meyakininya.

Berbalik, [Name] menatap James dengan kedua mata nanarnya. James secara psikologis benar-benar mencerminkan seorang kakak. Meski secafa biologis dia adalah adiknya.

"James benar, [Name]! Aku juga kehilang kedua orang tuaku dan adikku, tetapi aku masih memiliki kalian. Jadi mari kita mulai hidup baru dan mengenang yang telah pergi bersama!" Ellie berseru, menbuat [Name] terpaku.

Kondisi Ellie lebih parah darinya, tetapi dia tetap tersenyum bahkan menghibur [Name].

Berjalan menghampiri kedua orang yang berhaga baginya tersebut, [Name] kembali mendudukkan dirinya di tempat semula. "Kalian berdua benar," imbuhnya.

Terdiam untuk beberapa saat, tak lama Ellie berseru. "Tahun depan kurasa akademi militer akan membuka pendaftaran untuk para calon prajurit. Apa kalian bersedia untuk ikut?"

Mendengar pertanyaan Ellie sontak membuat [Name] berpikir. Bergabung dengan hal seperti itu justru membuat dirinya dan kedua orang yang berharga baginya ini dalam bahaya.

"Aku akan ikut." James menimbrungi tanpa ragu. "Aku akan menjadi sosok terkuat dan melindungi kalian berdua."

Memejamkan kedua matanya, [Name] harus menjawab apa? Dia tidak memiliki tujuan serta minat pada akademi militer.

"Bagaimana denganmu, [Name]?" Ellie bertanya, membuat kedua matanya kembali terbuka.

Bagaimana dengan dirinya? [Name] sendiri tidak tahu jawabannya.

"Bagaimana jika kita dalam bahaya karena berhubungan dengan militer?" tanyanya.

Sontak Ellie merangkul [Name]. "Kita akan saling melindungi, tak perlu takut!"

"Namun, kita terlalu lemah untuk saling melindungi." Ellie terdiam kala mendengar ujaran realistis yang keluar dari mulut [Name]. "Bahkan memegang pisau saja, tanganmu masih bergetar."

Berdecih, James menarik dirinya untuk bangkit. Berdiri di hadapan kembarannya, James mengulurkan tangannya. "Kita ini masih bibit, masih bisa di asah. Kau yang lemah ini masih bisa bertambah kuat, [Name]."

Terdiam, James benar.

Manusia itu seperti pedang. Jika semakin diasah maka semakin tajam bilahnya.

Baiklah, [Name] sudah mendapatkan jawabnnya.

"Aku akan ikut kemana pun kalian pergi, asal aku bisa selalu bersama kalian dan melindungi kalian."

Dia sudah menyakini dirinya untuk melindungi orang yang berharga baginya.

***

Sorry untuk kekacauan chapter ini.

𝐃𝐑𝐄𝐀𝐌𝐒 𝐀𝐍𝐃 𝐆𝐎𝐀𝐋𝐒 || AOT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang