Waktu tidak abadi. Kita yang abadi.
Ada istilah itu, dan aku tak percaya. Entah karena aku hanya sebuah tokoh dalam cerita yang tak pantas mendapat bahagia atau karena hidupku setelah bertemu dia yang masuk dalam kita untukku dan hanya untuk dia.
Kalau kalian minta aku cerita tentangnya, maka akan aku ceritakan. Lebih rinci dari apa yang tertulis di bab sebelumnya, dan tanpa ada yang terlupa karena aku akan selalu mengingatnya.
Mungkin kalian bosan padaku, dan sempat kesal dengan kehadiranku pada bab sebelumnya.
Sama.
Aku juga bosan dengan diriku, dan sangat kesal dengan diriku. Melebihi kalian.
Bosan, bisa-bisanya diriku selama ini hidup hanya untuk menyelamatkan nyawa orang yang kucintai pertama kali setelah nenekku.
Iya, aku tidak punya ibu.
Dan hanya punya ayah pemabuk yang menyusahkan.
Penulis sialan, betapa sialnya hidupku.
Dan kesal, kenapa aku harus bertemu dengannya hingga mengorbankan segala waktu karena cinta yang begitu besar, tapi pada akhirnya aku yang kalah, padahal aku bisa menang. Hanya saja aku mengalah.
Kembali, kalian tanya siapa cinta pertamaku? Maka kujawab dengan melukiskan dirinya lewat kata, kalian cukup membayangkan, jangan ikut mencintainya.
Gadis belia seumuranku itu aku temukan di tengah gelapnya malam dan gemuruh bunyi hujan yang membuat tubuhku berlapis mantel hujan.
Meski gelap, jangan salahkan mata elangku yang selalu menjadi perhatian orang-orang karena tajamnya tatapanku hingga dapat melihat wujud yang seperti bercahaya itu. Padahal orang yang mengajakku bicara ada di luar mobil, dan lebih jelas dari gadis dalam mobil itu.
Aku tidak peduli pada wanita di depanku, karena dia sudah menikah. Anaknya cantik.
Itu yang kuingat.
Aku ingat wajahnya, lebih dari aku mengingat rumus-rumus menyusahkan yang membuatku terus berteman dengan remedi setelah berpisah dengan ujian.
Seperti takdir. Di malam yang sama aku melihatnya di Sauna. Gadis itu memang terlihat dingin, jadi pantas dihangatkan dalam bilik sauna yang hangat.
Mataku tidak salah, ketiga temanku juga mengaku gadis itu cantik. Aihhh, mereka hanya kagum, dan aku mulai menyukainya.
Beberapa hari setelah itu takdir kembali menjumpai kami, murid baru di kelasku adalah gadis itu. Aku lupa melukiskan wujudnya, rambut sebahu dengan poni yang menutupi dahinya. Tidak cupu, bahkan cenderung menggemaskan, tidak sabar jika dia mulai dewasa akan secantik apa dirinya?
Dewi? Atau bahkan ratu dalam dongeng kerajaan? Berlebihan, aku bahkan tak pernah membaca dongeng.
Sepulang sekolah hari itu aku memang mengajaknya pulang. Lelaki berandal, mereka menyebutku seperti itu hingga tak salah jika akhirnya si berandal itu mengajak gadis kota pulang bersama menaiki scooter yang kupakai ugal di malam hari untuk balapan dengan Sang Hwan, teman dekatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Scene
Romance"Setelah meninggalkan Sang Mi, aku mulai memasuki panggung baru." -Ko Mun Yeong Ini cerita tentang tokoh dalam drama yang takdir hidupnya ditetapkan oleh para penulis. Jo Young, penulis It's Okay to Not Be Okay menciptakan dua tokoh bernama Ko Mun Y...