08 - Fakta Pahit

11.4K 2.4K 177
                                    

Terlalu senang semalam, Haryan bangga pada diri yang akhirnya bisa mendapatkan Wulan. Namun, sayangnya di pagi yang cerah ini, harus diakui bahwa "iya" akhirnya Haryan mendapatkan Wulan.

Sekali lagi, ya, Haryan mendapatkan Wulan. Mendapatkan Wulan sedang membicarakan dia setelah balik dari ruang lab Akuntansi, lebih tepatnya.

Haryan saat itu sedang mendapat perintah dari guru penjaskes, Pak Fiko, untuk mengambil matras di dalam gudang sebelah lab Akuntansi. Dengan jelasnya dari dalam gudang itu, dia mendengar sekelompok cewek yang sedang menyebut namanya.

"Haryan itu ternyata anak orang kaya, ya. Nggak nyangka, parah! Anaknya Pak Hartanto, dong."

Sontak Haryan menjatuhkan matras dan memilih untuk mendekatkan telinga di jendela agar terdengar lebih jelas.

"Wih, kalau memang anaknya Pak Hartanto Baratama, berarti kaya banget dong dia?" Itu suara Lilian.

"Kemarin gue sudah pura-pura lewat di depan rumah besar Pak Hartanto. Eh bener, si Haryan baru aja keluar dari rumah itu. Berarti itu fakta, bukan gosip doang." Kini gantian suara Wulan yang terdengar.

"Dia sahabatnya Baza sama Tisya, ya?"

"Iya."

"Hm, menurut gue, sih, mending dapat Baza. Walaupun nggak sekaya Haryan, dia ganteng dan bisa perbaiki keturunan cewek-cewek biasa kayak kita. Duh, kalian perhatiin jawline-nya Baza nggak, sih?"

Haryan yang mendengar itu menjadi sedikit iri. Para perempuan mau menerimanya dengan lapang dada karena alasan uang dan tetap melihat tampang. Bisa-bisanya dia dibandingkan dengan Baza kali ini. Tubuh Haryan melemas, dia pun perlahan menjauhkan telinganya dari jendela.

"Haryan sebenernya bisa lebih ganteng." Perkataan Wulan membuat Haryan tak jadi menjauh dari jendela. "Cuman dia kelihatan jorok banget, sih, jadi anak. Untung kaya. Terima aja, sih, gue."

"Rumahnya Pak Hartanto, loh, kayak istana. Mansion nggak, sih, itu sebutannya? Entahlah. Gede banget pokoknya. Rumahnya di ujung jalan, deket lapangan tengah kota. Gue sering lewat sana. Udahlah Lan, terima aja."

"Oh, kalau begitu, sih, boleh dibincangkan."

"Gue kalau dideketin Haryan kayak Wulan, mah, gas."

"Ngapain lo Yan?" Pertanyaan Tirot menyentak Haryan, juga para cewek yang sedang gosip di depan gudang itu.

Kumpulan cewek itu serentak berhenti dan terdiam, menunggu seseorang memunculkan diri dari balik tirai satu jendela gudang.

Haryan yang tak ragu itu akhirnya membuka tirai dan tersenyum simpul ke mereka semua. "Lanjutkan girls kritik di belakangnya. Gue senantiasa terbuka untuk digibahin," katanya, lalu pergi mengambil matras lagi.

Tirot melirik ke jendela dan menatap tajam para gadis-gadis yang menyesal telah bergosip di depan gudang. "Hayoloh, kelar kalian. Ucapin selamat tinggal ke duit terbang."

* * *

"Ah, gue tau lagi anak ini kenapa!" keluh Baza ketika baru saja membuka pintu rumah dan menemukan Haryan dengan raut sedihnya. "Kan, gue bilang, gue mau tidur siang dulu, mumpung Jumat pulang cepet. Sesi curhatnya bisa dilanjut besok atau lusa," katanya seakan mengusir, tetapi sambil membuka pintu lebar-lebar yang mempersilakan Haryan masuk.

Haryan langsung duduk di sofa rumah Baza. "Lo masih ikut ekskul hoki nggak, sih?"

"Masih, tapi latihannya hari Selasa sama Rabu. Makanya hari ini gue mau tidur siang sekali-kali." Baza duduk di sebelah Haryan. "Kenapa lo? Wulan lagi."

Haryan menghela napas kasar, lalu membaringkan diri di sofa, kepalanya tepat di sebelah paha Baza. "Masa mereka bandingin gue sama lo. Ya gue iri, lah!"

Baza tertawa kecil tiba-tiba. "Sejak kapan lo bisa iri lagi?"

Haryan bangkit dan menatap Baza mengintimidasi. "Gue masih Haryan!"

Baza tertawa lagi. "Mereka bandingin apa ke lo?"

"Lo ganteng katanya. Biar pun sebutannya gue lebih kaya, mereka maunya mending sama lo aja, seandainya lo mau sama mereka juga," jelas Haryan sambil bersila di sofa.

"Kan, cuman seandainya gue mau. Nyatanya, gue nggak mau. Ngapain amat," balas Baza santai, "lo udahan, gih, nyari ceweknya. Daripada patah ati terus. Nanti siapa lagi yang susah? Gue juga."

"Tapi gue kesepian Ja!" Haryan mengacak rambutnya.

"Kuncinya ada banyak kalau lo beneran mau dapetin cewek." Baza melirik ke rambut Haryan, lalu ke pakaian.

"Apa kuncinya?" Haryan berdecak kesal ketika sadar. "Haduh, udah dibilangin gue nggak mau rambut gue dipangkas. Unik, gue ngerasa jadi Haryan yang asli."

"Lo bisa dibotakin guru tiba-tiba kalau itu dibiarin aja."

"Nggak papa, gue mau botak. Asalkan botaknya rame-rame seangkatan." Haryan yang plin-plan itu mengelus rambutnya. "Lumayan, pangkas gratis."

Kini gantian Baza yang berdecak sebal. "Mau lo apa, sih, sebenernya?"

"Punya cewek dan nggak ditinggal."

"Kalau gitu, baikin yang mereka nggak suka. Cewek itu rata-rata mau cowok yang bersih. Ada juga, sih, yang nggak, tapi minimal ganteng, ups." Baza melirik Haryan lagi. "Lo ganteng kok Yan, tinggal dipermak aja lagi."

Haryan menghentakkan kaki. "Tapi nanti kalau gue udah permak, cewek-cewek pada matre."

"Ah elah, lo kebanyakan mikir negatif. Cari yang nggak matre." Baza ingin sekali membanting Haryan jikalau dia lupa dengan siapa sahabatnya sejak lama.

"Kalau nemunya satu doang terus kami nggak setipe gimana?" Haryan semakin berpikir terlalu jauh, semua dugaan baik dan buruk bahkan menjadi pertanyaannya.

"Emang salah?" Baza mulai emosi.

"Ya salah. Nanti jatohnya gue yang tersiksa harus peka sama kodenya sana-sini." Lagi, Haryan mulai mencari-cari permasalahan dari pikirannya.

"Tinggalkan."

"Gampang banget lo ngomong."

Baza memutar bola mata. "Cewek banyak di dunia ini. Kita masih kelas X, junior. Masih ada kelas XI sama XII yang ditempuh. Bisa jadi, berwarnanya pas kita udah agak di kelas atas."

"Gue pegang omongan lo."

"Loh? Gue cuma memotivasi, bukan ngeramal." Cukup, Baza sudah sebal.

Haryan terdiam sejenak. "Hm, kalau emang kemungkinan begitu, ya udah, gue semangatin diri dulu buat naik kelas."

Kalimat positif Haryan itu membuat kerutan di dahi Baza perlahan hilang. "Nah gitu kek, nantian dulu soal cewek. Ngurus diri sendiri aja nggak bisa, ini ngotot mau punya cewek," komentar Baza.

"Deep banget." Haryan berdiri. "Dahlah, gue mau pulang. Lo tidur sana. Besok gue insaf nyari cewek. Gue mau ambis dulu, bentar lagi kenaikan kelas."

"Lo nggak bakal bisa naik kelas kalau rambut lo itu nggak rapi."

Haryan yang sudah berdiri di depan pintu itu berbalik dan menatap Baza lelah. "Ya sudah, gue pangkas pulang dari sini."

"Nah, gitu dong. Awas kalau besok prinsip lo berubah, gue banting lo! Capek gue bilangin," tandas Baza sebelum mengunci pintu rumah ketika Haryan keluar.

___Buku Harian Haryan__

Buku Harian HaryanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang