"Bosan!" teriak Haryan yang kesepian.
Biarpun dia punya banyak teman juga sahabat, tetap saja Haryan kesepian. Selalunya, dia merenung di kamar sambil mengganti saluran televisi.
Kalau ada acara, momen, dan event di televisi akan dia lewatkan karena tak mau semakin kesepian. Orang tua Haryan kerja dan dia anak tunggal yang mendapatkan segalanya. Sederhana, untuk bahagia, Haryan tinggal memintanya.
Namun, semua itu terasa berbeda.
Hal yang dia dapatkan sendiri dengan hal yang diberikan orang tua terasa jauh beda. Haryan ingin sesuatu yang baru. Dia ingin menemukan jati dirinya, siapa dia, dan apa bakatnya. Bukan sekadar mengakui bahwa dirinya anak tunggal dan penerus utama kekayaan keluarga Baratama.
Haryan ingin sesuatu yang berbeda, tapi apa? Ah ya, dia ingin berusaha dan mendapat hasil atas kemampuan sendiri.
Masa kelas X berlalu dengan begitu mudah. Momen-momen langka jarang sekali dia dapatkan di kelas brandalnya.
Keramaian kelas setiap hari sudah biasa, pergi bolos sekolah, dan ngadem di mushola sampai kena hukum juga sudah dialaminya, maju ke depan karena dapat mengusai materi juga apalagi. Dia pun pernah dihukum bersama teman-teman dari tiga kelas Jurusan Otomotif karena tidak menjaga kebersihan kelas.
Sudah dilaluinya masa nakal di SMK. Lantas, bagaimana dia mengatasi rasa kesepian ini?
"Ngapain ya gue?" Haryan bertanya pada dirinya sendiri sambil melompat-lompat di atas kasur.
Dia akui, walau dibandingkan dengan Baza secara teori dan pelajaran, Haryan kalah saing. Begitu juga jika Haryan dibandingkan dengan teman sekolah semasa SMP-nya.
Namun, di kelas Otomotif yang penuh dengan "santai" dalam prinsip mereka, Haryan masih bisa membalap. Tak jarang dia mendapat ranking 5 besar di sana.
"Bolos udah pernah. Cari cewek? Bosen. Sekolah libur. Naik kelas udah. Ranking? Udah juga. Apalagi?" Haryan masih bertanya lantang ke diri.
Bi Darmi tiba-tiba mengetuk pintu kamar, membuat Haryan sontak berhenti melompat dari atas kasurnya dan membuka pintu. "Ehehe kenapa, Bi?"
"Mas Harry kenapa tadi teriak-teriak?" tanya Bi Darmi dengan kerutan di dahi, melirik masuk ke kamar Haryan yang masih rapi.
"Harry agak bosan, Bi." Dalam hati Haryan berteriak, BOSAN BANGET WOI.
"Oh, Mas Harry bosan? Tumben nggak ke rumah Mas Baza atau Mba Tisya. Biasanya Mas Harry kalau bosan palingan ke sana," ujar Bi Darmi.
"Enggak dulu deh, Bi. Harry mau mikirin masa depan dulu." Haryan memegang pintu kamarnya yang membuat Bi Darmi paham dan berpamitan untuk kembali ke dapur lagi.
Haryan pun melempar dirinya ke atas kasur.
Tak bisa seperti ini. Haryan harus bangkit dan mencari kegiatan yang membuat masa putih abu-abunya penuh warna. Apalagi, dia sudah jelas naik ke kelas XI sekarang.
"Udah naik kelas ya? Cepet amet. Bener kata Baza, bakal terasa sekilas doang kejadian kemarin." Haryan memainkan jarinya seolah menyentuh langit-langit kamar. "Ngomong-ngomong adek kelas nanti bakal ada yang sejenis kayak Wulan nggak, ya?"
Di tahun ini kalau bisa, adik kelas jangan sampai tahu identitasnya sebagai anak tunggal Baratama. Dia tidak mau kejadian Wulan dan teman-teman yang mau menerimanya karena uang terulang kembali.
"Gue bosen, kelas XI enaknya ngapain ya?" Haryan bangkit. "Gue bisa apa aja, sih? Gue suka apa aja ya? Kok bisa-bisanya gue lupa."
Terlintas sejenak di pikiran Haryan. "Oh ya, gimana kalau gue masuk OSIS?" Dia bangkit dari kasur dan meraih buku harian di atas nakas, lalu berjalan ke ruang tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Haryan
Ficção Adolescente(WATTYS WINNER 2021 Kategori YOUNG ADULT) (#4 Fiksiremaja 24/5/24) Tersasar ke Jurusan Otomotif di SMK membuat Haryan berbaur hingga gaya pakaiannya disebut seperti anak kolong jembatan. Hal itu membuat banyak cewek yang menolak Haryan, tetapi saat...