■ BUKU HARIAN BARU LAGI ■

8.8K 1.9K 104
                                    

Pulang sekolah, Haryan langsung membeli buku harian baru lagi. Karena dia sudah bosan menyimpan semuanya, sementara buku harian lama miliknya tak kunjung ditemukan oleh ibu penjaga perpustakaan.

Daripada menangisi yang sudah pergi, Haryan memilih memilih buku harian baru lagi. Karena warna merah darah sudah habis di penjual, maka Haryan memilih warna merah marun saja.

Segera Haryan menulis di buku harian barunya. Bermula dari tatapan awal Rilda di kantin, di upacara, di hari senam, di hampir semua penjuru sekolah. Banyak. Tak terasa, tatapan itu sudah dilontarkan Rilda selama empat bulan.

Pasti, Haryan terbawa perasaan.

Mana sebelum ini dia dibilang gayanya kayak anak kolong jembatan, kesepian, salah jurusan, ditinggal gebetan, mencari yang baru malah ketemu mata duitan. Sekali ketemu Rilda yang seolah memberikan Haryan perhatian, tentu Haryan jadi baperan.

Haryan selesai menulis dan membacanya, "Buku harian Haryan, baru lagi. Buku harian lama gue udah lama ilang. Gara-gara kebegoan gue yang nggak sengaja bawa ke sekolah, terus ilang di perpustakaan."

"Pas itu, demi ngehindarin Kakang, Tirot, sama Sesep yang berisik banget. Bisa koar-koar mereka kalau baca buku itu. Eh bukannya aman, tu buku malah ilang di sana, habis itu gue apes lagi harus dibotak. Yah, mudahan Bu Nurya kalau nemu juga nggak dibaca ya, privasi." Haryan berpindah posisi menjadi duduk di tepi kasurnya.

"Pas itu posisinya gue lagi habis diPHP-in sama Wulan. Pokoknya masih gagal move on, lah, ya. Gue juga pengin masuk OSIS gara-gara hati galau terus mikirin dia kayak orang kurang kerjaan, tapi emang iya, sih," kata Haryan seperti becerita di ruangan kamarnya yang tertutup. "Eh nggak lama, gue ketemu dong sama Rilda."

Haryan berusaha menahan senyumnya, tapi tidak bisa. "Aih, gue kenapa, sih? Masa ditatap cewek cakep aja baper?! Alay banget."

Di detik setelahnya, Haryan mengakui, "Terserahlah, mau bilang gue alay apa gimana. Gue baper woi, gila! Ditatap terus selama empat bulan dari kejauhan, terus yang natep itu cewek cakep sekelas sama model yang emak gue tunjukin selama peragaan busananya, siapa yang nggak baper coba?!" Haryan tertawa sendiri.

"Dih, Haryan mulai gila," celetuknya lagi-lagi untuk diri sendiri.

Setelah itu, tulisan Haryan selesai. Dia belum melanjutkan tulisan apa pun. Hanya sampai di penjelasan tatapan Rilda. Dia pun membaringkan diri di atas kasur.

"Ma, Mak, Mamak! Haryan harus gimana, ya?" gumam Haryan sambil memainkan lembar buku hariannya. "Pengin tanya, dianya kabur. Tapi yah, guenya juga nggak berani gimana. Takutnya, realita lebih kejam. Gitu-gitu dia haus duit nyokap sama bokap gue aja gimana? Ah! Otak oh otak, suudzon terus."

Haryan pun terdiam.

Suara tik-tok jam terdengar di seluruh ruangan, sepanjang diamnya Haryan yang berpikir, berdiskusi dengan pikiran sendiri.

"Kalau dia memang haus duit gue, eh tapi masa, sih? Gue, kan, selalu begaya kayak anak kolong jembatan yang selalu disubsidi Papa. Cewek-cewek sekelas Wulan yang nggak cakep-cakep amat aja ragu natap gue, masa cewek yang secakep model kayak Rilda berani natap gue? Lama lagi, berbulan-bulan juga." Haryan bangkit dari posisi rebahannya.

"Fix, dia suka sama gue juga!" kata Haryan percaya diri. "Bodo amat kalau dia ternyata nggak suka, gue paksa! Siapa suruh ngebaperin orang? Dia nggak tau apa, yang dibaperin ini anak Pak Hartanto Baratama sama Bu Rianti Rukmana? Sekali lamar, orang tua Rilda sendiri mungkin nggak tega nolak." Dia bangkit dari kasur dan berjalan menuju meja belajar.

"Liat aja lo Rilda, gue udah baper dan lo cakep! Lo harus... harus... mau." Nada bicara Haryan melemah.

"Dih, tumben gue pede banget," celetuk Haryan kemudian. Makin berbicara sendiri, makin terdengar plin-plan. "Muka di bawah rata-rata, otak pas-pasan, duit aja yang banyak hasil orang tua pula, bisa sepede itu gue. Ya ampun, Astaghfirullah!"

Untung Haryan masih sadar diri setelah percaya diri terlalu tinggi. Matanya melirik ke kamera DSLR yang terletak di atas meja. Di sana ada banyak foto temannya dan dua foto Rilda.

Tiba-tiba senyum Haryan mengembang. Dia bangkit dan keluar dari kamar, lantas berlari menuju ruang kerja ayahnya yang terdapat mesin print di sana.

Cukup lama dia menghabiskan waktunya, untuk mencetak foto Rilda dan menempelnya di buku harian.

"Mungkin ini tindakan ngeri, sekaligus bucin alay banget, gue sadar kok, sadar ya pemirsa," gumam Haryan sambil menempel foto Rilda, "tapi kalaupun, ternyata maksud tatapan Rilda itu nggak sesuai harapan gue, seenggaknya buku ini simpan cerita. Biar pas kapan-kapan, gue bisa belajar dari pengalaman. Biar sekali lagi, gue nggak mempan sama tatapan cewek cakep aja."

"Oke, buku harian Haryan yang penuh tatapan Rilda start di sini." Setelah menempel foto Rilda, Haryan mulai menuliskan tanggal dan momen saat itu.

Tak lupa, dia menulis tempat Rilda menatapnya di mana saja, saat apa, dan mengenakan seragam apa alias hari apa. Haryan ingat semua detailnya.

Oh ya, tulis juga nama panjang Rilda, Putri Evelina Zarildan.

"Maaf ya Rilda, foto lo gue taruh di buku harian. Lo, sih, ngajak main," kata Haryan sibuk menulis nama Rilda rapi-rapi walau tak berujung rapi. "Gue jadi berasa kayak P'Shone di film Crazy Little Thing Called Love dah, melankolis dan penulis diary diam-diam, haha."

Haryan meletakkan buku harian di atas meja, lalu pergi membaringkan diri di atas kasur untuk tidur siang, karena besok sudah ulangan semester.

Dia harus belajar nanti malam.

Tidak jadi, Haryan tak bisa tidur karena overthinking. Jadi dia bangkit dari posisi rebahan, duduk meja belajar, dan membuka buku pelajaran pertama besok. Dasar si plin-plan Haryan.

Cukup lama membaca buku, Haryan kepikiran satu hal lagi. Dia kembali meraih buku harian barunya dan menyobek foto Rilda yang ditempel barusan. 

"Nggak jadi ditempel, deh, kalau dipikir-pikir tindakan gue ini serem juga. Coba kalau keadaannya dibalik, terus ada yang fotoin gue diem-diem dan ditempel. Aduh, risi. Maaf Rilda, lo nggak jadi abadi di sini. Abadi di ingatan gue aja," gumam Haryan sembari merapikan kertas pada buku hariannya, menyobek foto Rilda sampai menjadi kertas kecil-kecil, dan dibuang.

__Buku Harian Haryan__

Seandainya lagu yang liriknya, "Harta dan tahta, jelek nggak pa-pa, asal banyak duitnya," itu ada di tahun Haryan menulis buku harian, mungkin sudah jadi lagu favorit untuknya wkwk.

Buku Harian HaryanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang