Banyak sekali hal yang terjadi dalam satu hari ini, membuat Haryan sampai tidak bisa mengurutkannya satu-satu. Setelah mengajak Tisya ke ruko milik kakaknya Rilda, keduanya pergi ke rumah Tisya untuk memberikan belanjaan ke orang tua, lalu ke rumah Baza.
Membujuk Baza untuk berjalan bersama adalah hal yang cukup rumit dan memakan waktu. Pasalnya, cowok itu harus menyelesaikan segala pekerjaan di studio, lalu bisa pergi dengan sahabatnya.
Selanjutnya, ketiganya pergi ke bioskop. Di saat itulah Tisya sempat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Haryan ke Baza. Kesal sekali jika kejadian di ruko kakaknya Rilda tadi harus menjadi rahasia, mereka membutuhkan Baza sebagai penengah keadaan. Untungnya, respons cowok jarang bicara itu biasa saja. Mungkin Baza sesekali tertawa samar, tapi dia tidak memojokkan Haryan ataupun menggali informasi lebih dalam.
Puas, ketiganya kembali ke rumah Haryan untuk berbincang sampai tengah malam.
Perbincangan itu lebih menuju ke hal yang tidak penting, jadi lebih baik diabaikan saja. Ya, mereka semua kembali mengabaikan segala pemikiran berlebih seputar hari ini, menikmati waktu bersama, dan berbincang penuh canda tawa.
Sekarang, kedua sahabat Haryan itu sudah pulang, membuatnya kembali kesepian di rumah. Jika sudah begitu, pikiran berlebihan Haryan biasanya akan mengambil alih.
Haryan kembali memikirkan kejadian seharian ini, spesifiknya kejadian di ruko milik kakaknya Rilda.
Saking pusingnya dengan omongan Rilda tadi, Haryan sampai malas kembali ke kamarnya. Karena kalau dia sudah menginjakkan kaki di sana, pastilah otaknya akan semakin dipenuhi banyak dugaan. Seandainya ada penghargaan overthinking, mungkin Haryan sudah menjadi juaranya.
Alhasil, Haryan memilih duduk di ruang tengah dengan pandangan ke televisi, menonton acara dangdut yang entah kapan selesainya itu.
"Nggak jadi deh, gue mau tidur." Haryan mematikan televisi setelah mendumel dan berjalan ke kamarnya.
Baru saja masuk, mata Haryan langsung tertuju pada buku harian di atas meja. Cowok itu menghela napas kasar sembari mendudukkan diri di depan meja belajar. Dia membuka lembaran yang membahas Rilda di sana, lengkap dengan foto, nama panjang Rilda, dan tanggal.
Haryan mengambil pulpen dan mulai menuliskan isi kepalanya dengan mendikte, "Dari pengakuan Rilda, dia sama sekali nggak pernah natap gue dari kejauhan. Haha, sedih. Kayaknya mata gue yang bermasalah. Minggu depan gue mau periksa mata aja, dah. Biar puas. Haha, enak banget ya geer ditatap cewek. Iya, enak banget, hih!"
Setelah menulis itu Haryan membanting buku hariannya hingga terjatuh dari atas meja belajar dan pergi tidur tanpa mau berpikir panjang.
* * *
"Demi apa mata lo ternyata selama ini minus?" tanya Tisya masih tidak percaya saat Haryan menunjukkan kacamata barunya. "Minus berapa lo?"
"Minus satu, kanan sama kiri." Haryan kembali meraih kacamatanya dari genggaman Tisya. "Berarti selama ini gue geer memang ya, nganggep Rilda natep ke gue."
Tisya manggut-manggut, dia melirik ke Baza yang baru saja mengikhlaskan sepenuhnya kepergian Aunia. Dia pun menyenggol lengan Baza yang melamun. "Apa tanggapan lo soal Haryan, Ja? Btw, udahlah, ikhlasin aja Aunianya, dia udah pergi dengan damai."
Baza tersenyum kecut, lalu menghela napas kasar. "Lo bener. Buat apa lagi gue mikirin Aunia. Biarkan dia nyesel sejadi-jadinya. Dia udah pamit dengan tenang, nggak pantes gue pikirin lagi."
Mata Baza mengerling ke arah Haryan. "Kalau menurut gue, soal kasus percintaan lo ini agak rumit, sih. Gue malah curiga si Rilda nggak mau ngaku, tapi di sisi lain gue juga yakin kalau selama ini kalian salah paham doang. Haryan ternyata minus, kan? Bisa jadi selama ini lo memang salah lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Haryan
Подростковая литература(WATTYS WINNER 2021 Kategori YOUNG ADULT) (#4 Fiksiremaja 24/5/24) Tersasar ke Jurusan Otomotif di SMK membuat Haryan berbaur hingga gaya pakaiannya disebut seperti anak kolong jembatan. Hal itu membuat banyak cewek yang menolak Haryan, tetapi saat...