Haryan mengikat rambut ikalnya itu menggunakan karet gelang yang diberikan oleh Yeni karena sedikit mengganggu. Rambut Haryan itu gampang sekali tumbuh panjang, sampai terkadang cowok itu pusing sendiri mengaturnya.
Hanya lebih seminggu sehabis dipangkas, rambutnya akan tumbuh cepat. Apalagi kalau dibiarkan sedari habis ulangan hingga liburan, rambutnya sampai bisa diikat.
"Uh, cakep," puji Aldo asal ketika melihat Haryan baru saja selesai mengikat rambut. "Foto lagi Yan, sana, rambutnya serapi ini."
Yang dipuji sempat mendelik. Terpaksa Haryan melangkah lagi ke depan kain berwarna hijau dan berpose sederhana di sana. Diam berdiri menatap kamera, tanpa ekspresi apa pun.
Baza yang sudah mengambil gambar pun mengangguk dan menyuruh Haryan kembali duduk.
Setelah sesi pemotretan, semuanya berjalan ke ruangan bagian depan untuk lanjut mendesain poster dan brosur.
Haryan mengambil jaketnya yang berada di meja tempat desain dan menyampirkannya. "Kalian bakal lama buat ini, atau bagi tugas pulang ke rumah?"
"Bagi tugas aja, deh, gue udah diteleponin soalnya," jawab Pipin sambil memindahkan beberapa foto dari kamera Baza.
"Setuju," tambah Raja, "tapi bentar dulu."
Haryan manggut-manggut sambil melirik ke dua pasangan baru yang masih membuat hatinya panas. "Kalian?" Dia memberanikan diri untuk bertanya.
Candra mendongak. "Gue tergantung Rilda."
Cewek dengan rambut panjang berponi penggaris itu tersadar dari lamunannya. "Ini sudah, kan, Kak?"
Baza dan teman-temannya menoleh. "Sudah."
"Kalau mau pulang, pulang aja."
Candra menarik tangan Rilda. "Oke, kita balik duluan. Dah!" Dia melambai sekilas ke sekumpulan teman yang satu angkatan dengannya.
Ketika dua orang itu keluar, terbesit di hati Haryan untuk menyusul. Lantas, Haryan juga pamit, "Gue juga pulang. Ditungguin bokap di rumah."
"Lah, bukannya bokap lo pulang tengah malem?" tanya Baza.
"Eh... anu, gue udah ada janji sama bokap yang mau pulang cepet," jawab Haryan sedikit gagap sambil memakai jaket merahnya.
"Ya sudah, hati-hati, Yan!" Aldo dan yang lain menyahut.
Haryan pun berjalan cepat menuju motornya sambil sesekali melirik kepergian motor Candra yang membonceng Rilda.
Tiba-tiba terdengar suara Tisya dari depan studio. "Haryan, ikut!"
Cowok berambut ikal itu menoleh cepat. "Nggak boleh. Gue buru-buru!"
"Aih, anterin pulang doang!" tawar Tisya sambil berlari menghampiri sahabatnya itu. "Ya? Ya? Yaaa?" tanyanya dengan penekanan, memaksa Haryan menerima.
Haryan berdecak malas. "Duh, nggak bisa, gue buru-buru," katanya sambil memakai helm.
"Rumah kita satu jalan aja, tuh. Lo, nih, udah tau gue orang susah. Berbaik hati dikit kek anterin sampe rumah. Lo nggak tega apa cewek secakep gue jalan kaki pulang ke rumah?" oceh Tisya sambil berkacak pinggang.
"Lo aja biasanya tega sama gue."
"Aih, Haryan!" Tisya menghentakkan kaki berulang kali. "Nangis, nih, gue. Nggak mau lagi gue bertemen sama lo. Nggak mau!"
Haryan sudah naik ke atas motor. "Jangan gitu. Lo, nih, ah. Guenya yang keenakan, bebas dari nenek lampir."
Tanpa sadar, perdebatannya dengan Tisya membuatnya kehilangan jejak Rilda lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Haryan
Teen Fiction(WATTYS WINNER 2021 Kategori YOUNG ADULT) (#4 Fiksiremaja 24/5/24) Tersasar ke Jurusan Otomotif di SMK membuat Haryan berbaur hingga gaya pakaiannya disebut seperti anak kolong jembatan. Hal itu membuat banyak cewek yang menolak Haryan, tetapi saat...